Opini

Perjalanan Panjang Pilkada Serentak 2020

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang Undang Pilkada yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020 lalu, tentu memberikan angin segar bagi semua pihak terkait Pemilihan Serentak 2020. Apalagi Pemilihan Serentak atau yang lebih akrab terdengar dengan Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) merupakan salah satu sarana pengamalan demokrasi dalam memilih Kepala Daerah. Dapat dikatakan tidak ada demokrasi untuk memilih kepala daerah tanpa Pilkada. Walaupun begitu, Pilkada bukanlah tujuan, akan tetapi salah satu sarana untuk memilih pemimpin eksekutif di daerah. Pilkada sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena Pilkada merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat yang kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijaksanaan (policy). Namun dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ini mengalami sedikit perbedaan. Munculnya Pandemi Covid-19 telah membuat tahapan Pilkada Serentak 2020 menjadi berubah dan mengalami penundaan. Seperti kita ketahui Pelaksaanaan Pilkada Serentak di bulan september 2020 ini sudah diatur dalam UU Pilkada No 10 Tahun 2016 pada pasal 201 ayat 6 berbunyi pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan september 2020. Namun seiring dengan adanya Pandemi Covid-19 yang disertai berbagai kebijakan pemerintah yang berasal dari Pemerintah Pusat, Polri maupun Pemerintah Daerah terkait pencegahan penularan virus tersebut  akhirnya KPU RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 Tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 dalam upaya pencegahan penyebaran covid 19. Dalam keputusan ini ada 4 tahapan yang dilakukan penundaan yakni pelantikan PPS dan masa kerja PPS, Verifikasi syarat dukungan calon perseorangan yang belum dilaksanakan, pembentukan PPDP serta pemutahiran dan penyusunan daftar pemilih. Kemudian keputusan ini juga disertai surat edaran KPU RI nomor 8 tahun 2020 tentang pelaksanaan keputusan nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020. Penundaan tahapan yang dilakukan oleh KPU ini, mendapatkan respon dari Pemerintah dan DPR. Dimana Pemerintah dan Komisi II DPR RI resmi menyetujui penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 yang semula dijadwalkan 23 September 2020 dengan mempertimbangkan kondisi negara yang masih mengalami Pandemi Covid-19.  Penundaan ini berdasarkan keputusan tertulis Rapat Dengar Pendapat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Tito Karnavian, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad, dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), di Gedung DPR RI pada hari senin sore, 30 Maret 2020. Ada 4 point kesepakatan, tertulis. Pertama, melihat perkembangan Pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum terkendali, dan demi mengedepankan keselamatan masyarakat, Komisi II DPR RI menyetujui penundaan tahapan Pemilukada Serentak 2020 yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan. Kedua, pelaksanaan Pemilukada Lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR RI. Ketiga, dengan penundaan Pemilukada serentak 2020, maka Komisi II DPR RI meminta Pemerintah untuk menyiapkan payung hukum baru berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Keempat, penundaan pelaksanaan Pemilukada 2020, Komisi II DPR RI meminta kepada Kepala Daerah yang akan melaksanakan Pemilukada Serentak 2020, merelokasi dana Pemilukada Serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19. Saat itu KPU memberikan usul pelaksanaan Pilkada Serentak dengan Tiga opsi tanggal pengganti di antaranya tanggal 9 Desember 2020, 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. KPU juga menyadari  gelaran Pilkada Serentak tahun 2020 ini bakal jadi Pilkada Serentak terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebab, Pilkada Serentak ini melibatkan 270 daerah dalam satu waktu. Sehingga persiapan yang maksimal dalam pelaksanaan Pilkada Serentak perlu dilakukan. Penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak ini juga dilakukan rapat lanjutan. Saat itu Komisi II menggelar rapat kerja dengan KPU, Bawaslu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan DKPP dalam sambungan jarak jauh, Selasa 14 April 2020. Pada saat itu Pemerintah dan Komisi II DPR RI resmi menyetujui pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2020. Artinya gelaran Pilkada Serentak 23 September 2020 resmi ditunda dan akan dilengkapi payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), mengingat penyebaran wabah Corona Virus Disease-19 (Covid-19) belum mereda. Adapun hasil keputusannya adalah Pertama, Komisi II DPR RI menyetujui usulan pemerintah terhadap penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak tahun 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020. Namun sebelum dimulainya pelaksanaan tahapan Pillkada Serentak tahun 2020, Komisi II DPR RI bersama Mendagri dan KPU RI akan melaksanakan rapat kerja setelah masa tanggap darurat berakhir untuk membahas kondisi terakhir perkembangan penangan pandemi COVID-19, sekaligus memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pilkada Serentak tahun 2020. Kedua,  Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan evaluasi terhadap Keserentakan Pemilu pada tahun 2019, maka Komisi II DPR RI mengusulkan kepada pemerintah agar pelaksanaan Pilkada kembali disesuaikan dengan masa jabatan 1 periode 5 tahun yaitu 2020, 2022, 2023, 2025 dan seterusnya yang nanti akan menjadi bagian amandemen pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 untuk masuk ke dalam Perppu. Pada tanggal 4 Mei 2020 Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. Penamaan rinci Perppu ini tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, atau Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Perppu yang lebih dikenal sebagai Perppu Pilkada itu sudah lama ditunggu para pemangku kepentingan pilkada, pasca-KPU melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 menunda empat aktivitas tahapan pilkada serentak di 270 daerah akibat adanya bencana nasional yang disebabkan wabah Covid-19. Jika dirangkum, isi Perppu Pilkada ini mencakup tiga kelompok pengaturan baru. Pertama, Pemilihan Serentak lanjutan bisa terjadi akibat penundaan pilkada yang disebabkan sebagian besar daerah atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan. Bencana nonalam menjadi ketentuan baru yang dapat menyebabkan penundaan pilkada. Kedua, penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanismenya, pemilihan serentak lanjutan dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan. Ketiga, pemungutan suara serentak Pilkada 2020 yang semula di bulan September 2020, ditunda ke bulan Desember 2020 karena terjadi bencana nonalam. Namun dalam hal pemungutan suara serentak bulan Desember tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir. Penundaan Pilkada sebagaimana diatur Perppu Pilkada pasti membawa dampak. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini bila diidentifikasi cepat, setidaknya ada lima dampak penundaan pilkada bagi para pemangku kepentingan. Dampak penundaan Pilkada itu antara lain. Kesatu, dampak hukum. Akibat penerbitan Perppu Pilkada, KPU harus melakukan penyesuaian kerangka hukum pengaturan teknis pilkada. Terutama berkaitan dengan perubahan Peraturan KPU mengenai tahapan, program, dan jadwal pilkada serentak 2020 sebagai revisi atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 jo PKPU No. 16 Tahun 2019 jo PKPU Nomor 2 Tahun 2020. Adanya pergeseran hari pemungutan suara dari September ke Desember 2020 serta merta menggeser pula waktu pelaksanaan tahapan-tahapan pra dan pasca pemungutan suara. Kedua, dampak teknis. Secara logis, penundaan pilkada pasti berdampak pada tata kelola teknis pilkada. Kalau dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020, membuat KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020. Ketiga, dampak politik. Konfigurasi politik daerah sangat mungkin berubah, sebagai dampak dari jeda penundaan pilkada. Sebut saja soal status mandat/rekomendasi yang sudah diberikan atau potensial diberikan pada bakal calon sangat mungkin berubah dan berganti pada orang lain akibat perubahan elektabilitas atau posisi politik para aktor politik di daerah.             Keempat, dampak sosial. Secara sosial, dilakukan penundaan pilkada bisa membuat masyarakat melihat pandemi Covid-19 sebagai persoalan serius, karena Covid-19 sampai bisa mengakibatkan tertundanya agenda rutin lima tahunan pilkada serentak. Terakhir, kelima, dampak anggaran. Akibat penundaan pilkada, perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Ada resiko yang bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan petugas dan pemilih bila kita tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas dan daya dukung untuk memproteksi mereka dari kemungkinan terpapar Covid-19 saat pelaksanaan pilkada. Karena itu, pengalokasian dana tambahan untuk memenuhi segala fasilitas dan kebutuhan yang sejalan dengan pemenuhan protokol kesehatan penanganan Covid-19 menjadi tidak terhindarkan. Sebut saja, misalnya keperluan untuk pengadaan masker, hand sanitizer, termometer, disinfektan, dan alat pelindung diri. Tapi ada yang harus digarisbawahi dengan adanya Perppu Pilkada ini tentu juga sangat membantu KPU dalam pelaksanaan Pilkada Serentak ini. Karena kewenangan untuk menunda ataupun melanjutkan Pilkada yang ditunda berada ditangan KPU. Sebelumnya, tidak ada aturan jelas siapa yang memiliki kewenangan untuk menunda Pilkada, jika ada gangguan berskala nasional seperti saat ini. Walaupun begitu KPU juga harus segera mempersiapkan untuk memfinalisasi rancangan revisi Peraturan KPU Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020. KPU harus terus berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, baik BNPB maupun Kemenkes, terkait dengan kepastian penyelesaian pandemi Covid-19. Karena kegiatan lapangan sudah harus dilakukan KPU beserta jajarannya per Juni. Keharusan penyelenggara pemilu bergerak sejak Juni ini yang menimbulkan risiko. Sehingga KPU mendapat kepastian apakah hari pemungutan suara Pilkada 2020 dapat dilaksanakan bulan Desember tahun ini, atau harus diambil waktu lebih lama lagi. Apalagi celah agar pelaksanaan Pilkada serentak 2020 bisa diundur hingga September 2021 termuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada yang dikeluarkan. Terakhir penundaan Pilkada Serentak setelah penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2020 harus diantisipasi dengan terencana dan menyeluruh. Pembuatan peraturan pelaksanaan pilkada dan berbagai kebijakan turunannya, termasuk penganggaran, selain harus tepat waktu dan bisa menangkap realita lapangan, juga harus dipastikan sejalan dengan kebutuhan penyelenggaraan Pilkada Serentak sesuai protokol penanganan Covid-19. Apabila realitanya berdasarkan berbagai telaah pemungutan suara memang tidak dimungkinkan terselenggara Desember 2020, kita sangat meyakini KPU sebagai lembaga mandiri akan dapat mengambil sikap yang tepat. Sehingga tidak banyak menimbulkan kerugian hukum, politik, ekonomi, maupun sosial yang terjadi akibat pelaksanaan Pilkada Serentak tersebut. (***) Oleh : A. Kadir,S.IP Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Batang Hari Periode 2018-2023 

Pilkada di Tengah Balada Covid 19

Pelaksaanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sampai saat ini belum dilakukan penundaan pelaksanaan pemungutannya dengan tetap mengacu kepada jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan yakni pada 23 September 2020 nanti. Namun dalam perjalanan tahapan yang sedang berjalan, muncul wabah virus corona atau covid 19. Berbagai upaya untuk mencegah penyebaran virus corona ini juga terus dilakukan. Pemerintah pun telah mengambil sejumlah kebijakan untuk mencegah menularnya penyakit tersebut. Meski hingga saat ini belum mengarah pada kebijakan lockdown, namun berupa social distancing, yakni menghindari kerumunan banyak orang.             Sementara tahapan-tahapan Pilkada selalu mendatangkan kerumunan banyak orang. Dimulai dari pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), pembentukan Petugas Pemutahiran Daftar Pemilih (PPDP), pemutahiran dan penyusunan data pemilih, verifikasi syarat dukungan calon perseorangan hingga sosialisasi ditengah masyarakat. Kita sangat paham dalam tahapan ini tentu saja penyelenggara akan sangat bersentuhan langsung satu sama lain, baik antara sesama penyelenggara maupun dengan masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak.             Saat ini berbagai kebijakan pemerintah yang berasal dari Pemerintah Pusat, Polri maupun Pemerintah Daerah terkait pencegahan penularan virus tersebut telah dikeluarkan. Sehingga dipastikan KPU sendiri juga harus patuh terhadap kebijakan pemerintah tersebut, yakni dengan mencegah terjadinya berkerumunannya orang banyak. Puncaknya KPU RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 Tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 dalam upaya pencegahan penyebaran covid 19. Dalam keputusan ini ada 4 tahapan yang dilakukan penundaan yakni pelantikan PPS dan masa kerja PPS, Verifikasi syarat dukungan calon perseorangan yang belum dilaksanakan, pembentukan PPDP serta pemutahiran dan penyusunan daftar pemilih. Kemudian keputusan ini juga disertai surat edaran KPU RI nomor 8 tahun 2020 tentang pelaksanaan keputusan nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020.             Menindaklanjuti keputusan ini seluruh KPU kabupaten/kota melakukan penundaan pelantikan maupun melakukan penundaan masa kerja PPS yang seyogyanya sudah mulai melaksanaakan tugas pasca rekrutmen yang dilakukan terhadap mereka beberapa waktu lalu. Rekruitmen terhadap PPDP yang akan dilakukan juga dilakukan penundaan disertai dengan menunda pemutahiran dan penyusunan daftar pemilih. Bagi daerah yang ada calon perseorangan dan belum melaksanakan verifikasi syarat dukungan juga dilakukan penundaan. Dampak dilakukan penundaan terhadap 4 tahapan ini tentunya juga menghasilkan beberapa kebijakan lainnya yakni melakukan penundaan masa kerja Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) dan Seketariat Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) seiring diterbitkannya surat KPU RI nomor 285/PL.02-SD/01/KPU/III/2020.             Melihat penundaan beberapa tahapan yang dilakukan tentunya banyak masyarakat yang berasumsi KPU pada akhirnya juga akan melakukan penundaan terhadap pelaksanaan pemungutan suara yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020 nanti. Namun untuk melakukan penundaan ini perlu pula di garisbawahi bahwa KPU tidak bisa langsung melakukan penundaan. Karena Pelaksaanaan Pilkada Serentak di bulan september 2020 ini sudah diatur dalam UU Pilkada No 10 Tahun 2016 pada pasal 201 ayat 6 berbunyi pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubrrnur , Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan september 2020. Tentunya untuk melakukan pergeseran penundaan ini memerlukan revisi terhadap undang-undang atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang ditetapkan oleh presiden.              Sejauh ini keinginan untuk melakukan penundaan terhadap Pelaksaanaan Pilkada Serentak dari sejumlah pihak terus bergulir. Sejumlah pihak ada yang  memberikan opsi menunda Pilkada tahun 2020 ini dengan argumen  mengacu pada pasal 120, UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang. Meski tidak diatur secara khusus dalam UU Pilkada, namun opsi penundaan Pilkada bisa saja dilakukan. Pada ayat 1 disebutkan, bahwa dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan. Kemudian ayat 2, pelaksanaan Pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilihan yang terhenti.             Selain itu Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini  mengungkapkan di salah satu media bahwa  penundaan nasional yang bergeser pada hari pemungutan suara itu masih belum ada aturan mainnya di dalam UU Pilkada kita. Sehingga, mau tidak mau penundaan Pilkada secara nasional harus dilakukan melalui revisi atas UU Pilkada. Revisi itu bisa melalui dua jalur, yakni revisi terbatas oleh pembuat UU (DPR dan pemerintah) atau melalui Perppu. Tetapi untuk melalukan revisi UU Pilkada dibutuhkan waktu yang agak lama, apalagi fokus pemerintah saat ini sedang memerangi Covid 19 dan DPR telah memperpanjang masa reses. Selanjutnya agar proses penundaan ini dapat dilakukan untuk skala nasional, maka dia berharap Presiden Jokowi segera mengeluarkan Perppu sehingga penundaan pilkada skalanya bisa nasional dan bisa memberikan kepastian hukum bagi seluruh jajaran penyelenggara, peserta maupun pemilih.             Saat ini kita semua tentu berharap agar balada covid 19 ini agar segera berakhir dan tidak menyebabkan ditundanya pesta demokrasi bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka dimasing-masing daerah. Namun kita tidak tahu sampai kapan kondisi merebaknya covid 19 di Indonesia ini akan berakhir. Perkembangan kasus covid 19 yang terus meningkat, bisa saja membuat kebijakan pemerintah berubah, dari social distancing, menjadi lockdown atau lainnya. Semoga saja tidak sampai merebak luar biasa. Namun jika itu terjadi, maka KPU harus segera mengambil keputusan, tentunya setelah berkoordinasi dengan pemerintah, DPR dan kementerian terkait.             Sejauh ini sinyal KPU akan melakukan penundaan juga sudah terlihat. Apalagi Ketua KPU RI, Arief Budiman juga sudah mengungkapkan adanya opsi untuk melakukan penundaan terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Dalam opsi ini juga mengusulkan sampai pelaksaanaan penundaan paling panjang yakni sampai september 2021.             Bagi bakal calon dalam Pilkada 2020 ini juga harus bisa memahami jika pelaksanaan pesta demokrasi ini dilakukan penundaan. Disatu sisi kita juga mengerti bakal calon juga sudah banyak melakukan sosialisasi dan bahkan untuk calon perseorangan juga sudah menyerahkan syarat dukungan. Namun disisi lain bakal calon juga harus memahami persoalan ini juga menyangkut nasib ratusan juta rakyat Indonesia, bukan hanya demi kepentingan politik semata. Partai-partai politik tentu sudah menyiapkan kader-kadernya maupun bakal calon pilihan untuk bersaing dalam ajang Pilkada ini. Namun kesehatan dan keselamatan rakyat harus menjadi pilihan pertama yang perlu kita pikirkan bersama.             Terakhir perlu kita ketahui bersama keputusan untuk melakukan penundaan Pilkada ini sangat  tergantung dari kondisi penyebaran Covid 19 dan juga keputusan KPU dan pemerintah serta DPR dalam menyikapinya dengan melakukan berbagai kajian.(***) Oleh : A. Kadir,S.IP Penulis adalah Ketua KPU  Kabupaten Batang Hari Periode 2018-2023

Kenapa Partisipasi Politik Masih Rendah?

(Evaluasi Pemilu di Kabupaten Pemalang) Oleh Agus Setiyanto (Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Pemalang) Jumat 26 Juli 2019 dua pegawai KPU RI mengunjungi KPU Kabupaten Pemalang. Keduanya mendapat tugas khusus mengevaluasi partisipasi pemilih yang rendah pada Pemilu 2019. Tampaknya KPU RI ingin langsung mengetahui apa penyebab rendahnya partisipasi pemilih di kabupaten ini yang tak memenuhi target nasional 77,5 persen. Penulis kemudian sengaja mengajak dua pegawai KPU RI mengunjungi Desa Walangsanga di Kecamatan Moga. Pada Pemilu 2019 tingkat partisipasi pemilih di desa ini hanya 56,24 persen. Bahkan berdasarkan data sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden dari tiap tempat pemungutan suara (TPS) di desa tersebut (DAA1-PPWP) ada tiga TPS yang separuh lebih pemilihnya tidak hadir pada hari pencoblosan. Masing-masing TPS 20 (44,84 persen), TPS 24 (43,65 persen), dan TPS 27 (45,66 persen).  Hari itu kami pun memilih acak 20 warga Walangsanga yang nama-namanya tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) TPS 24. Mereka mewakili setiap segmen atau basis pemilih, pemula, muda, perempuan, disabilitas, tokoh masyarakat, serta pemilih kalangan pinggiran atau marjinal. Siang hingga sore itu kami melakukan serangkaian wawancara mendalam untuk mendapat jawaban apa sesungguhnya persoalan seputar partisipasi warga di Pemilu 2019. Hasilnya, keseharian warga khususnya perempuan di desa ini aktif dalam kegiatan pengajian, Jumat sore (Jemuahan), Senin sore (Senenan) dan Kamis sore (Kemisan). Selain membaca Alquran serta puji-pujian kepada Nabi Muhammad mereka bersilaturahmi dan arisan. Jumlah anggota pengajian tergantung jumlah perempuan di satu RT atau bisa juga gabungan beberapa RT. Ibu-ibu yang kami wawancarai menyatakan di forum-forum itu biasa mendapat informasi terkait program-program pemerintah seperti pemilu. Mereka kemudian melengkapi informasi seputar pemilu melalui tayangan televisi. Namun tidak ada satupun kaum ibu yang kami temui mengaku pernah mendapat ajakan dari tim sukses maupun politisi untuk mencoblos kandidat tertentu di TPS. Mereka juga mengaku tidak banyak mengenal calon-calon anggota dewan yang berlaga di pemilu. Alasan mencoblos hanyalah perasaan kedekatan atau sejarah masa lalu dengan partai politik tertentu. Meski tidak mengenal calon-calon anggota parlemen dan hafal nama-nama partai peserta Pemilu mereka mengaku tetap ingat kepada calon presiden mana mandat diberikan.  Mayoritas warga desa menganggap mencoblos sebagai kewajiban untuk menyukseskan program pemerintah. Karena kewajiban inilah ketua RT setempat intens mengajak warga untuk hadir ke TPS. Bahkan istri dari ketua RT yang kami temui sangat aktif mendorong ibu-ibu di pengajian agar tidak golput di Pemilu. Tak hanya itu, ketua RT dan istri juga membantu petugas KPPS untuk mengirimkan surat pemberitahuan mencoblos di TPS (Form C6) kepada warga yang masuk DPT. Sang istri mengaku dari pintu ke pintu memastikan tak ada satupun warga yang terlewat belum mendapat form C6. Meski dia pun mengakui tak semua nama di form C6 bisa ditemui. Sebagian besar sedang bekerja di Jakarta. Tapi dia tetap menitipkan surat pemberitahuan mencoblos itu kepada anggota keluarga yang masih ada di desa. Keterangan ini diamini seorang warga desa tujuh anggota keluarganya tetap mendapat form C6 meski hanya dua nama yang di hari coblosan ada di tempat. Perantau Siang itu kami beruntung menjumpai seorang perantau yang baru pulang dari Jakarta. Kepada kami dia mengaku tak pernah menggunakan hak pilih di berbagai Pemilu maupun Pilkada. Tuntutan pekerjaan, ongkos transportasi Jakarta-kampung halaman pulang pergi, serta prosedur pindah mencoblos yang rumit menjadi alasan baginya terpaksa golput. Dia mengatakan mayoritas perantau warga Walangsanga bekerja di kawasan proyek sekitar utara Jakarta. Pada 17 April 2019 berbekal KTP elektronik mereka sempat berniat mencoblos di Jakarta tapi ternyata tidak bisa. Dia menilai penyelenggara Pemilu terlambat menyosialisasikan form A5. Kemarin kami juga mendatangi rumah yang di dalamnya terdapat anggota keluarga berusia lanjut. Pihak keluarga memberi keterangan bahwa jarak rumah dengan lokasi TPS yang jauh, karena sudah tua susah diarahkan, dan sakit sebagai penyebab tidak datang ke TPS. Sumber penting lain memberi pernyataan tentang tidak adanya sosialisasi pendidikan pemilih kepada petani penggarap serta penyandang disabilitas di desa tersebut. Rekomendasi Jalan satu-satunya agar partisipasi pemilih di Desa Walangsanga tidak rendah adalah memulangkan perantau pada hari coblosan. Tapi tentu saja penyelenggara pemilu harus menyediakan bus atau travel gratis. Menurut perantau dan penyelenggara pemilu tingkat desa (PPS) Walangsanga cara itu sudah pernah dilakukan oleh calon-calon kepala desa jelang pilkades dan berhasil. Kalau itu tidak bisa dilakukan pilihan lainnya adalah mempermudah perantau untuk mendapatkan surat pindah mencoblos. Tapi sejauh ini usaha jemput bola untuk melayani perantau tidak atau belum optimal dilakukan. Banyak laporan dari sejumlah perantau yang mengaku batal mengurus form A5 hanya karena tidak menjumpai petugas PPS di balai desa. Kendala lainnya berupa perbedaan tafsir soal dokumen persyaratan yang dibutuhkan: hanya fotokopi KTP elektronik atau ada tambahan berupa Kartu Keluarga (KK).  Memaksimalkan sosialisasi pendidikan pemilih di forum-forum pengajian perempuan juga keharusan. Penyelenggara Pemilu tingkat desa harus rajin menghadiri forum demi forum pengajian. Di Pemilu 2019 strategi ini sudah dilakukan oleh Relawan Demokrasi tapi karena keterbatasan personel (hanya 55) hasilnya belum maksimal. Pelajaran berikutnya dari survei lapangan di Walangsanga ialah potensi golput dari pemilih lanjut usia. Fakta di lapangan banyak pemilih manula yang kehilangan hak pilih hanya karena persoalan teknis serta kesadaran keluarga. Padahal pada Pemilu 2019 di Kabupaten Pemalang ada 135.369 pemilih berusia 61 ke atas. Jumlah tersebut setara dengan 12,05 persen dari DPT kabupaten ini. Kesimpulan paling pamungkas sekaligus peluang baru bagi peningkatan partisipasi pemilih adalah peran ketua RT. Ke depan KPU bisa membangun kolaborasi antara ketua RT dan petugas Pemilu tingkat desa bahkan TPS. Intinya memaksimalkan ketua RT sebagai agen sosialisasi pendidikan pemilih sekaligus mobilisasi warga di hari pencoblosan. (*)

Rekapitulasi dan Penegakan Hukum Pemilu

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sulut) Rekapitulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung tiga pengertian, satu ringkasan; ikhtisar; dua  ringkasan isi atau ikhtisar pada akhir laporan atau akhir hitungan; dan tiga pembuatan rincian data yang bercampur aduk menurut kelompok utama. Hiruk pikuk tahapan pemilu saat ini,  memasuki proses rekapitulasi. Puncaknya nanti pada 22 Mei 2019 KPU RI akan menetapkan hasil rekapitulasi berjenjang secara nasional. Regulasi teknis yang mengatur proses rekapitulasi yaitu Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 tahun 2019 Pasal 1 angka 24 memberikan batasan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara sebagai sebuah proses penjumlahan hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik dan calon anggota DPR untuk Pemilu anggota DPR, calon perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, Partai Politik dan calon anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu anggota DPRD Provinsi, dan Partai Politik dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang dilakukan oleh PPK, PPLN, KPU/KIP Kabupaten/Kota, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu yang memegang teguh azas jurdil,  maka sistem selalu memberi kesempatan kepada peserta Pemilu “naik banding” terhadap hasil perolehan suara apabila terdapat dugaan pelanggaran (fraud)  atau kesalahan (error). Kesempatan awal untuk bisa mempersoalkan hasil adalah saat pelaksanaan rekapitulasi mulai tingkat kecamatan hingga nasional.  Penyelesaian Keberatan Dalam Forum Pleno Rekapitulasi Soal keberatan yang diajukan dalam forum rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perolehan suara,  yang bisa diselesaikan adalah terkait proses dan SELISIH REKAPITULASI di jenjang di bawahnya yang belum diselesaikan. Hal tersebut diatur lanjut dalam Peraturan KPU nomor 4 Tahun 2019. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22, Pasal 52, Pasal 67 dan Pasal 81 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019. Ketentuan tersebut mengatur bahwa saksi dan / atau Bawaslu sesuai tingkatan dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur atau selisih penghitungan perolehan suara apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika terdapat keberatan terkait selisih rekapitulasi yang dilakukan tingkatan di bawahnya,  maka KPU wajib memberikan penjelasan atau melakukan pencocokan dokumen hasil rekapitulasi yang dipersoalkan. Jika benar terdapat kekeliruan maka wajib dilakukan koreksi terhadap dokumen dimaksud. Hasil koreksi dicatat dalam formulir DA2/DB2/DC2 sebagai kejadian khusus. Jika saksi masih keberatan maka keberatan dimaksud dicatat sebagai pernyataan keberatan saksi,  yang bisa dibahas pada jenjang rekapitulasi di atasnya. Penyelesaian Keberatan Diluar Forum Pleno Rekapitulasi Selain mekanisme penyelesaian keberatan dalam forum Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi,  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur tentang mekanisme penyelesauan keberatan atau dugaan pelanggaran diluar forum rapat pleno yaitu melalui proses penanganan pelanggaran administrasi pemilu di Bawaslu. Pasal 399, 403, dan 407 memberikan kewenangan khusus kepada Bawaslu untuk menerima,  memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi. Dengan ketentuan ini maka peserta pemilu yang menemukan atau menduga adanya pelanggaran dalam proses rekapitulasi atau yang keberatannya tidak dapat diselesaikan dalam forum rapat pleno, dapat mengajukan keberatan terkait pelanggaran rekapitulasi di semua jenjang. Dalam prakteknya mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi rekapitulasi diselesaikan oleh Bawaslu dalam mekanisme adjudikasi cepat.  Dan putusan yang dikeluarkan wajib ditindaklanjuti oleh KPU dalam pelaksanaan rekapitulasi. Kerangka Penegakan Hukum Pemilu Lainnya Mekanisme penanganan pelanggaran lainnya dalam rangka mewujudkan keadilan pemilu (fair election), diatur dalam UU nomor 7 Tahun 2017. Penanganan pelanggaran dilakukan sesuai dengan jenis atau kategorisasi sengketa atau pelanggaran. Sengketa dalam kerangka penegakan hukum Pemilu terdiri dari 2 kategori: 1) Sengketa Proses yang ditangani Bawaslu terhadap keberatan atas keputusan KPU/KPU provinsi, kab/kota. 2) Sengketa Hasil atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang ditangani Mahkamah Konsititusi. Sementara itu terkait pelanggaran dan kewenangan penanganannya meliputi: 1) Pelanggaran Administrasi Pemilu oleh Bawaslu 2) Pelanggaran Pidana Pemilu ditangani oleh Bawaslu dan Gakumdu 3) Pelanggaran Kode Etik (KPU,  KPU provinsi dan KPU kabupaten Kota) ke DKPP.  Pelanggaran kode etik badan hoc  diselesaikan KPU kabupaten/Kota. Dengan demikian,  untuk mewujudkan pemilu yang berkeadilan, regulasi telah menyediakan wadah wadah penyaluran keberatan, kecurigaan dan dugaan pelanggaran. Biarlah mekanisme penegakan hukum Pemilu menjadi tempat pencarian keadilan dan pembuktian terbukti tidaknya pelanggaran yang disangkakan.  Keadilan pemilu adalah keadilan berdasarkan hukum.

Anatomi Definisi Kampanye Pemilu 2019

oleh: Meidy Yafeth Tinangon (Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Utara, Divisi Hukum dan Pengawasan) Anatomi merupakan istilah bidang Ilmu Biologi. Berasal dari bahasa Yunani anatomia, (dari anatemnein, yang berarti memotong), pembagian cabang ilmu ini berhubungan dengan struktur dan organisasi dari makhluk hidup. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan dua pengertian terhadap istilah ini, pertama, ilmu yang melukiskan letak dan hubungan bagian-bagian tubuh manusia, binatang atau tumbuh-tumbuhan. Kedua, uraian yang mendalam tentang sesuatu. Adapun anatomi kampanye yang dimaksudkan dalam judul tulisan ini, adalah uraian mendalam tentang istilah kampanye. Banyak pihak memahami kampanye (hanya) sebatas metode kampanye rapat umum, yang baru saja dimulai Minggu 24 Maret 2019. Padahal kegiatan kampanye telah lama dimulai atau sejak 23 September 2018 usai penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Sebagai contoh dalam case tertentu, seorang caleg yang membagi-bagikan kartu nama, memuat nomor dan tanda gambar partai serta foto dan nama calon, tidak menyadari bahwa aktivitasnya tersebut masuk bagian dari kampanye. Kesalahpahaman seperti ini terjadi karena substansi atau struktur dari definisi kampanye yang kurang dipahami. Sebagian orang hanya melihat kulit luar (morfologi) umum dari kampanye. Memahami substansi tahapan pemilu sangatlah penting. Kegagalan pemahaman dapat menyebabkan kesalahan perilaku yang berujung pada terjadinya pelanggaran. Munculnya pelanggaran tentu dapat menyebabkan ternodanya penyelenggaraan pemilu yang pelaksanaannya penuh harapan terlaksana berdasarkan asas keadilan dan kejujuran. Tahapan kampanye merupakan salah satu tahapan vital tetapi juga tahapan yang rawan atau memiliki potensi pelanggaran yang tinggi. Hal ini disebabkan karena, di tahapan inilah peserta pemilu diberikan ruang berkompetisi merebut simpati konstituen sebelum akhirnya simpati tersebut ditransformasi dalam bentuk pemberian suara (vote) dihari pemungutan suara. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika saya menyebut bahwa kontestasi sebenarnya berada pada tahapan kampanye. Potensi saling sikut, perang statement, perang strategi, eskalasi rivalitas sangat mungkin terjadi di tahapan ini. Apa sebenarnya aspek-aspek atau unsur dari kegiatan yang disebut “kampanye” dalam Pemilu Tahun 2019? Definisi Kampanye Kampanye pemilu menurut ketentuan Pasal 1 angka 38 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Jo. Pasal 1 angka 21 PKPU 23 tahun 2018 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Dibandingkan dengan pengertian kampanye pada Pemilu 2014, maka terdapat beberapa perbedaan. Pada Pemilu 2014 merujuk Pasal 1 angka 29 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, kampanye pemilu didefinisikan sebagai  kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Apa yang membedakan antara pengertian kampanye di pemilu 2014 dan Pemilu 2019? Pertama, terkait dengan subyek yang melaksanakan, dimana dalam UU Nomor 7 tahun 2017 terdapat  tambahan frasa “atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu”. Frasa ini menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan kampanye bukan hanya oleh peserta pemilu, tetapi juga oleh pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Kedua, terkait dengan cara meyakinkan pemilih. Didalam UU Nomor 7 tahun 2017 terdapat tambahan frasa “dan/atau citra diri”. Sebelumnya dalam norma UU Nomor 8 Tahun 2012 hanya mengatur cara meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program, yang sifatnya kumulatif. Definisi kampanye dalam Pemilu 2019 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Jo. Pasal 1 angka 21 Peraturan KPU 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 33 Tahun 2018, paling kurang dapat dibagi dalam beberapa unsur, yaitu unsur subyek atau siapa yang melaksanakan, tujuan dari kegiatan kampanye dan cara mencapai tujuan tersebut. Unsur-unsur kampanye yang bisa menjadi dasar pemenuhan syarat untuk menentukan apakah sebuah kegiatan merupakan kampanye pemilu atau tidak. Unsur Subyek Pelaksana Kegiatan Dari aspek pihak yang melaksanakan kegiatan kampanye, norma regulasi mengatur bahwa kampanye pemilu dilaksanakan oleh dua pihak yaitu peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Artinya, untuk melaksanakan kampanye, peserta pemilu dapat melaksanakan secara langsung atau menunjuk pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan kampanye. Siapa yang dimaksud dengan peserta pemilu? Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai politik untuk anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk melaksanakan kampanye disebut pelaksana kampanye, hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa pelaksana kampanye adalah pihak-pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye.  Selanjutnya, ketentuan Pasal 268 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa kampanye pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye. Siapa saja yang masuk dalam pelaksana kampanye untuk masing-masing jenis pemilu, ketentuannya diatur dalam Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) dan pasal 271: Pelaksana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil presiden terdiri atas pengurus Partai Politik atau Gabungan partai Politik pengusul, orang-seorang, dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pelaksana Kampanye Pemilu Anggota DPR  terdiri atas pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu DPR, Calon Anggota DPR, juru Kampanye Pemilu,  orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu DPR. Pelaksana Kampanye Pemilu Anggota DPRD Provinsi  terdiri atas pengurus Partai Politik Peserta Pemilu DPRD Provinsi, Calon Anggota DPRD Provinsi, juru Kampanye Pemilu,  orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu DPRD Provinsi. Pelaksana Kampanye Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota  terdiri atas pengurus Partai Politik Peserta Pemilu DPRD Kabupaten/Kota, Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota, juru Kampanye Pemilu,  orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu DPR Kabupaten/Kota. Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu anggota DPD. Pengertian organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu mencakup antara lain organisasi sayap partai politik peserta pemilu dan organisasi penyelenggara kegiatan (event organizer) yaitu organisasi yang berbentuk badan hukum yang ditunjuk oleh peserta pemilu, didirikan dan dikelola oleh Warga Negara Indonesia (WNI) serta tunduk kepada hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pelaksana kampanye dapat juga mengangkat petugas kampanye dan juru kampanye sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 26 Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018. Unsur Tujuan Kegiatan Kampanye Berdasarkan definisi kampanye di  atas, kegiatan kampanye Pemilu bertujuan meyakinkan pemilih. Meyakinkan pemilih dimaksudkan agar supaya pemilih memutuskan untuk memilih peserta Pemilu yang bersangkutan, jadi ada aspek interest politik dalam konteks ini. Hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya meyakinkan pemilih haruslah dilaksanakan dengan kesadaran bahwa Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab sebagaimana maksud Pasal 267 UU Nomor 7 Tahun 2017. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud ketentuan tersebut, dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi Pemilih dalam Pemilu. Tujuan kampanye untuk meyakinkan Pemilih, dengan demikian diharapkan dilakukan dengan cara-cara yang beretika dan sesuai dengan ketentuan. Tentu saja kita sangat berharap hal-hal yang tidak mendidik seperti politik uang (money politics), fitnah dan berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech) tidak dipraktekan dalam kegiatan kampanye. Aspek Metode dan Materi Aspek metode kampanye dalam definisi tergambar dalam frasa “dengan cara menawarkan”. Metode kampanye dengan demikian merupakan cara untuk mencapai tujuan kampanye. Metode kampanye atau cara berkampanye menurut ketentuan Pasal 275 Undang-undang dapat dilakukan melalui 9 (Sembilan) metode yaitu: Pertemuan terbatas; Pertemuan tatap muka; Penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum; Pemasangan alat peraga di tempat umum; Media sosial; Iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet; Rapat umum; Debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat kriteria-kriteria teknis pelaksanaan untuk setiap metode kampanye termasuk larangan-larangannya yang di atur dalam Undang-undang dan Peraturan KPU, yang kesemuanya harus dipahami oleh setiap stakeholder kampanye Pemilu. Misalnya, untuk metode penyebaran bahan kampanye kepada umum, Pasal 1 angka 29 PKPU 23 tahun 2018 menjelaskan bahwa bahan kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu. Dalam Pasal 30 ayat (2) Bahan Kampanye dapat berbentuk: selebaran (flyer), brosur (leaflet), pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin,  dan/atau alat tulis. Materi kampanye adalah hal perihal yang ditawarkan untuk meyakinkan pemilih. Dalam definisi kampanye di atas, materi kampanye terwakili dalam kalimat “visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Adanya frasa “dan/atau” menunjukan bahwa untuk unsur ini, sifatnya alternatif-kumulatif artinya ada dua pilihan penerapan, yaitu bisa diterapkan sifat alternatif (atau) atau bisa diterapkan sifat kumulatif (dan). Lebih konkrit, unsur ini terpenuhi jika: Ada aspek menawarkan visi, misi, program, atau Ada aspek menawarkan citra diri peserta pemilu, atau Ada aspek menawarkan visi, misi, program dan citra diri peserta pemilu. Terkait citra diri peserta pemilu berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Perbawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu menyebutkan bahwa citra diri adalah setiap alat peraga atau materi lainnya yang mengandung unsur logo dan/atau gambar serta nomor urut peserta pemilu. Artinya “citra diri peserta pemilu” bisa dalam varian: Logo peserta pemilu dan tanda gambar serta nomor urut peserta pemilu, atau Logo peserta pemilu serta nomor urut peserta pemilu, atau Tanda gambar serta nomor urut peserta Pemilu. Dari aspek materi kampanye diatur dalam Pasal 274 ayat (1) bahwa: Materi kampanye meliputi: Visi, misi, dan program pasangan calon untuk kampanye pemilu presiden dan wakil presiden; Visi, misi, dan program partai politik untuk partai politik peserta pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota; dan Visi, misi, dan program yang bersangkutan untuk kampanye perseorangan yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD. Konklusi Dari uraian di atas, dapat diambil konklusi bahwa dalam definisi kampanye mengandung tiga unsur utama, yaitu: Aspek pelaksana: kegiatan kampanye dapat dilaksanakan oleh peserta pemilu yaitu partai politik, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan calon anggota DPD. Peserta pemilu dapat menunjuk tim kampanye dan pelaksana kampanye untuk pemilu presiden dan wakil presiden dan menunjuk pelaksana kampanye untuk pemilu DPR/DPRD dan DPD. Pelaksana kampanye kemudian dapat menunjuk petugas kampanye, juru kampanye dan organisasi pelaksana kegiatan; Aspek tujuan: kampanye pemilu bertujuan meyakinkan pemilih yang dilaksanakan dengan cara yang beretika dan sesuai peraturan perundang-undangan; Aspek metode dan materi meliputi: Metode kampanye yang terdiri atas: Pertemuan terbatas; Pertemuan tatap muka; Penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum; Pemasangan alat peraga di tempat umum; Media sosial; Iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet; Rapat umum; Debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Materi kampanye meliputi aspek yang bersifat kumulatif-alternatif, dengan varian: Visi, misi, program, atau Citra diri peserta pemilu, atau c)Visi, misi, program . 

Kampanye di Tempat Terlarang: ADMINISTRASI atau PIDANA ?

Meidy Yafeth Tinangon  (Komisioner KPU Sulawesi Utara / Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan)   Saat ini, aktivitas peserta Pemilu pada tahapan kampanye semakin meningkat seiring dengan dekatnya hari pemungutan suara 17 April 2019. Para kandidat atau tim kampanye hampir setiap hari memiliki agenda berkampanye, namun demikian, di lapangan ditemui berbagai macam pelanggaran berkampanye seperti penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.   Pasal 280 ayat 1 huruf (h) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang:  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.   Faktanya, dalam hiruk pikuk masa kampanye saat ini, pelanggaran terhadap ketentuan larangan kampanye pada pasal tersebut masih terjadi, hingga menyeruak dalam diskursus dinamika electoral law enforcement dalam tahapan kampanye Pemilu 2019. Saya membahasakan pelanggaran kampanye tersebut sebagai kampanye di tempat terlarang (locus prohibitus)  untuk tidak menyebut secara panjang tiga kategori tempat terlarang tersebut.    Ketika pelanggaran itu terjadi, banyak pihak langsung mengarah pada tuntutan sanksi pidana. Padahal, Undang-undang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan kampanye di Tempat Pendidikan, Tempat Ibadah dan Fasilitas Pemerintah dikategorikan dalam dua jenis pelanggaran yaitu administratif (Pasal 280 ayat 4) atau pidana (Pasal 521).  Terkesan ambigu dan kontradiktif, namun sesungguhnya jika kita menelusuri dengan seksama pasal-pasal tersebut maka kita akan menemui pembedanya.   Berikut coba diuraikan pengaturan sanksi pelanggaran dimaksud dari aspek sanksi administratif dan pidana.   • Sanksi Administratif Pengaturan sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang dalam  UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur dalam Ketentuan Pasal 280 ayat (4) yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Dalam ketentuan ini larangan pada Pasal 280 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf h (Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ) tidak termasuk tindak pidana Pemilu. Pelanggaran oleh Pelaksana, Peserta dan Tim Kampanye yang bukan tindak pidana berarti termasuk kategori pelanggaran admnistrasi (juncto Pasal 460 ayat 1 dan 2).   Penanganan pelanggaran ketentuan Pasal 280 ayat (1) dari sisi penanganan pelanggaran administratif diatur dalam Ketentuan dalam Pasal 309 ayat (2) UU 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau tim kampanye melakukan pelanggaran kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa, Panwaslu Desa/Kelurahan menyampaikan laporan kepada PPS.   Selanjutnya, ketentuan Pasal 310 ayat (1) mewajibkan PPS menindaklanjuti temuan dan laporan pelanggaran Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan / desa sebagaimana dimaksud Pasal 309 ayat (2) dengan:   a. menghentikan pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu setelah mendapatkan persetujuan dari PPK;   b. melaporkan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan Kampanye Pemilu;   c. melarang pelaksana atau tim Kampanye Pemilu untuk melaksanakan Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapat persetujuan PPK; dan/atau   d. melarang peserta Kampanye Pemilu untuk mengikuti Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapatkan persetujuan PPK.   Ketentuan ayat (2) mewajibkan PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang.   Pola penanganan serupa, terhadap pelanggaran Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Pasal 314 ayat (2) dan Pasal 315 ayat (1) untuk tingkat kecamatan, Pasal 318 untuk tingkat Kabupaten, Pasal 320 untuk tingkat Provinsi, dan Pasal 322 untuk tingkat nasional yang merupakan pola penanganan pelanggaran administratif dalam tahapan Kampanye Pemilu.    Namun demikian apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan kampanye, maka temuan dan laporan Panwaslu Desa/Kelurahan kepada PPS dilaporkan kepada PPK, kemudian PPK menindaklanjuti laporan dengan melakukan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang (Pasal 310 ayat 2). Penyelesaian dimaksud adalah dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran pidana kepada Panwaslu Kecamatan sesuai kewenangannya. Hal serupa perlu dilakukan KPU Kabupaten/Kota terhadap laporan PPK sebagaimana diatur Pasal 315 ayat (1) huruf b dan ayat (2).   Ketentuan Pasal 280 ayat (4) di atas   diikuti KPU ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 33 Tahun 2018, sehingga pelanggaran tersebut dikecualikan sebagai tindak pidana Pemilu sesuai bunyi ketentuan Pasal 69 ayat (4) PKPU:    “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h dan huruf h1, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu”.    Hal serupa diatur Pasal 76 (1):  “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h, dan ayat (2) merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemilu”   Selanjutnya dalam Pasal 76 ayat (3) diatur sanksi administratif: Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi: a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.   • Sanksi Pidana Ketentuan pidana terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang, diatur dalam ketentuan Pasal 521 UU 7 tahun 2017 yang mengamanatkan  bahwa:    “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Selain sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 521, pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280, juga memiliki konsekwensi sanksi administratif lanjutan sebagaimana diatur pasal 285 yaitu:    “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengambil tindakan berupa: a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih”.   • Administrasi atau Pidana ? Jika kita perhatikan rumusan Pasal 280 ayat (4) Undang-undang yang mengecualikan pelanggaran larangan kampanye di rumah ibadah, tempat Pendidikan dan fasilitas pemerintah dari kategori pelanggaran Pidana pemilu, dengan Pasal 521 yang mengatur sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut, maka sangat jelas pembedanya terletak pada aspek kesengajaan (dolus).    Rumusan Pasal 521 adalah: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Artinya, pelanggaran terhadap larangan Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dalam kampanye dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana Pemilu, apabila dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan (dolus) dalam pelanggaran tersebut. Biasanya dalam rumusan regulasi tentang sanksi pidana ada dua alasan pidana yaitu Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa) / lalai.    Sebagai catatan, dari sekitar 66 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 (Pasal 488-554), sekitar 35 pasal dalam rumusannya diawali dengan frasa “dengan sengaja”. Sisanya, mengatur karena kelalaian (culpa) serta untuk pelanggaran tertentu dalam pasal-pasal tersebut langsung dikenai sanksi.   Pembuktian terhadap aspek Pidana merupakan kewenangan Sentra Gakkumdu dan pengadilan. Apabila tidak terbukti adanya aspek kesengajaan, maka pelanggaran tersebut merupakan kategori pelanggaran administratif.   Hukum pidana menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintai tanggungjawab kalau ia mempunyai (unsur) kesalahan. Unsur kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa sengaja atau kelalaian. Dalam ketentuan Pasal 521 yang ditekankan hanya aspek kesengajaan.    Aspek “sengaja” oleh para ahli hukum pidana memang menjadi bagian penting dalam pemidanaan. Djoko Prakoso dalam bukunya Tindak Pidana Pemilu, terbitan Sinar Harapan (1987) sebagaimana dikutip Susanto dalam sebuah tulisannya berjudul Karakteristik Tindak Pidana Pemilu  Dalam Sistem Hukum Indonesia sebagaimana dipublikasi dalan Journal of Legal and Policy Studies (2016), memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu dengan: “Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar  hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang”.   Amania (2009) dalam karya tulis hukum bertajuk: Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Masa Kampanye Pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menulis bahwa untuk membuktikan bahwa suatu pelanggaran kampanye memenuhi unsur kesengajaan harus memenuhi memenuhi persyaratan :   1) Terdakwa menghendaki dan mengetahui (willes an weten) terjadinya serta akibat tindak pidana tersebut; 2) Perbuatan tersebut timbul dari niat terdakwa dan diwujutkan secara aktif oleh terdakwa; 3) Perbuatan tersebut sesuai dengan unsur-unsur dan pelaksanaan suatu kampanye pemilu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.   Dari uraian di atas, dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak bisa secara otomatis, pelaku dugaan pelanggaran kampanye di tempat yang dilarang dikenakan sanksi pidana. Hal mana sangat tergantung pada bagaimana pihak Bawaslu dan Gakumdu mampu membuktikan terpenuhinya unsur kesengajaan (dolus).  Jika tidak terpenuhinya unsur tersebut, kemudian penyidikan terus dilanjutkan bahkan sampai ke pengadilan, maka berpeluang terjadi suatu kondisi error in persona atau mengadili dan menghukum seseorang yg tidak bersalah.   • Konklusi Setiap Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu termasuk calon anggota DPR/DPRD/DPD dilarang  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan dalam setiap kegiatan / metode kampanye.  Jika pelanggaran tersebut terjadi maka terdapat dua kemungkinan kategori pelanggaran yaitu pidana atau administratif. Jika terbukti Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye melakukan pelanggaran karena kesengajaan maka hal tersebut dikategorikan pidana Pemilu yang dikenakan sanksi pidana. Jika tidak terbukti aspek pidana, maka berarti memenuhi aspek administratif yaitu pelanggaran prosedur dan dikenai sanksi administratif.   Setiap proses terhadap suatu pelanggaran sifatnya adalah dugaan (Allegation) yang masih harus dibuktikan melalui prosedur yang diatur. Baiknya, setiap orang menghindari sikap gegabah menilai pemberian sanksi sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian berlangsung, apalagi memaksakan kehendak tanpa dasar yang jelas. Biarlah proses hukum berjalan menurut rel prosedur hukum yang diatur regulasi.   Keadilan Pemilu adalah keadilan berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan opini apalagi interest.

Populer

Belum ada data.