Opini

Sosialisasi Kepada Pemilih Pemula

Sosialisasi Kepada Pemilih PemulaOleh Novembri Yusuf SimanjuntakMahasiswa Magister Ilmu Politik Konsentrasi Tata Kelola Pemilu Universitas Airlangga Surabaya.KPU Kabupaten SimalungunAwal  November 2017 yang lalu saya diundang oleh Departemen Politik Universitas Airlangga untuk menjadi fasilitator dalam acara sosialisasi pemilih pemula. Tentu saja menjadi sebuah kebanggaan, karena mahasiswa Tata Kelola Pemilu FISIP Unair yang merupakan pegawai KPU diberdayakan untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kampus ini. Acara ini merupakan bentuk pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi. Pesertanya adalah siswa-siswi kelas XII SMA/MA/SMK dari beberapa sekolah di Kota surabaya. Yang diundang 100 orang namun yang hadir hanya 40 orang saja. Hal ini tentu menjadi catatan bagi panitia yang seluruhnya adalah mahasiswa S1 Ilmu Politik Unair agar kedepan dapat menghadirkan peserta lebih banyak lagi. Hadir dalam acara itu anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya, Nurul Amalia, dosen Departemen Politik Unair, mahasiswa S2 Tata Kelola Pemilu dan mahasiswa S1 Departemen Politik Unair. Defenisi pemilih pemula dan bagaimana pemilih pemula agar dapat terdaftar dalam DPT secara lugas disampaikan oleh Nurul Amalia sebagai pembicara pertama. Pembicara kedua, Dr. Kris Nugroho menjelaskan bahwa acara ini merupakan bentuk tanggung jawab kampus dalam upaya memperbaiki nasib pemilu ke depan. Pembicara lainnya, Yuyun Dwi Puspitasari mengajak pemilih pemula untuk mengetahui setiap tahapan pemilu. Saya sendiri, memberikan sosialisasi tata cara pemungutan dan penghitungan suara. Saya menekankan bagaimana tata cara memberikan hak pilih dengan baik dan benar kepada peserta yang sama sekali belum pernah menggunakan hak pilih. Pemilih PemulaPemilih pemula adalah pemilih yang baru pertama kali akan melakukan penggunaan hak pilihnya (KPU : 2010). Pemilih pemula terdiri dari masyarakat yang telah memenuhi syarat untuk memilih. Dalam UU No. 7 tahun 2017, syarat-syarat yang harus dimiliki untuk menjadikan seseorang dapat memilih adalah (1) Umur sudah 17 tahun, (2) Sudah/pernah kawin, (3) Purnawirawan/Sudah tidak lagi menjadi anggota TNI/Kepolisian dan (4) tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan.Pemilih pemula merupakan partisipan politik yang akan memilih calon-calon pemimpin elit-elit politik di masa depan, baik pada tingkal lokal (DPRD atau kepala daerah) maupun nasional (DPR atau Presiden/Wakil Presiden). Pada pilkada serentak nasional yang akan diselenggarakan tahun 2018 dan pemilu tahun 2019, suara pemilih pemula akan diperebutkan peserta pemilu atau calon. Jumlahnya yang mencapai sekitar 20-30% dari seluruh jumlah pemilih membuat suara mereka sering dijadikan untuk mendongkrak perolehan suara dan bisa menentukan kemenangan pihak yang berkompetisi dalam pemilu. Mengacu pada data KPU untuk pemilu 2014, diketahui jumlah pemilih pemula yaitu rentang usia 17 tahun hingga 20 tahun sebesar  14 juta orang.  Sedangkan pemilih usia 20 tahun hingga 30 tahun sebesar 45,6 juta jiwa. Dibandingkan dengan data dari KPU pada pemilu 2004,  jumlah pemilih pemula mencapai sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih.  Pada pemilu 2009  ada sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih. Pemilih pemula khususnya remaja (berusia 17 tahun) mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari (Suhartono : 2009). Jiwa muda dan cenderung coba-coba kerap mewarnai alur berpikir para pemilih pemula. Sebagian besar dari mereka hanya melihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara kepada partai politik dan tokoh yang mereka sukai. Antusiasme mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi. Pemilih pemula biasanya antusias untuk datang ke tempat pemungutan suara  karena untuk pertama kali menggunakan hak pilihnya dan cenderung dimobilisasi. Budaya politik parokial mewarnai kebanyakan pemilih pemula dalam pemilu. Mereka membutuhkan pendewasaan politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi. Dengan jumlah pemilih pemula yang banyak, jangan sampai hak mereka sebagai warga negara dalam menggunakan hak pilihnya menjadi tidak berarti akibat dari kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan. Misalnya jangan sampai sudah memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar atau juga masih banyak kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya, akibatnya suaranya menjadi tidak sah.Sosialisasi Pemilih PemulaSosialisasi pemilu kepada pemilih pemula sangat diperlukan agar mereka menggunakan hak suara secara tepat dan berkualitas. Mereka perlu didorong untuk antusias datang ke tempat pemungutan suara guna memilih partai politik atau calon-calon pemimpin sesuai dengan aspirasinya, tidak golput atau tidak memberikan suara pada pemilu dan termakan ajakan politik uang.   Pemilih pemula harus didorong untuk menjadi pemilih yang cerdas dalam menggunakan hak suara mereka. Pemilih pemula harus tahu bagaimana mencoblos partai politik atau calon secara benar dan tepat agar suara mereka menjadi sah sesuai peraturan dalam pemilu. Pemilih pemula juga perlu diperkenalkan dengan nilai-nilai demokrasi di balik proses pemilu. Artinya, antusias untuk memilih saja tidak cukup jika antusiasme untuk memilih ini tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran untuk menggunakan hak pilih secara tepat dan berintegritas.Penyelenggara pemilu dari tingkat atas sampai bawah harus memberikan sosialisasi dan  memberdayakan pemilih pemula agar berpartisipasi dalam proses pemilu. Mereka harus mampu membuat pemilih pemula tidak hanya menjadi massa labil yang dapat dimobilisir. Pemilih pemula harus didorong untuk menjadi pemilih otonom yang steril dari mindset money politics, kolusi, maupun nepotisme. Partai politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara dari kalangan ini. Namun lebih dari itu partai politik harus berpikir juga bagaimana menumbuhkan kesadaran politik anak muda yang suatu saat nanti juga akan menjadi kader-kader mereka. Sebab pemilih pemula merupakan embrio masa depan demokrasi Indonesia. Untuk itu, sosialisasi dan pendidikan politik oleh partai politik harus dilakukan dengan sungguh-sungguh kepada pemilih pemula.Oleh karena itu, saatnya mahasiswa dan adik-adik pemilih pemula ikut serta tidak hanya menjadi pemilih pasif tetapi juga menjadi warga negara yang aktif berpartisipasi dalam pemilu. Memantau proses pemilu, melaporkan pelanggaran pemilu, menjadi penyelenggara pemilu (PPK,PPS,KPPS) serta menggunakan hak pilih dengan berkualitas merupakan contoh partisipasi aktif. Karena pemilih pemula ikut menentukan nasib bangsa Indonesia tercinta.

Penetapan Paslon Terpilih dan Sikap Demokrasi Terpuji

Penetapan Paslon Terpilih dan Sikap Demokrasi TerpujiPenulis:PRATAMA(Komisioner Divisi Hukum KPU Kabupaten Musi Banyuasin)Komisi Pemilihan Umum Musi Banyuasin telah melaksanakan Tahapan Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Musi Banyuasin Tahun 2017, pada tanggal 23 Februari 2017. Pelaksanaan Rapat Pleno Terbuka ini sesuai Jadwal Tahapan dan Program yang diatur pada Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2016 yang merupakan perubahan terakhir dari Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017.Produk yang dihasilkan dari Rapat Pleno Terbuka ini adalah suatu angka yang memastikan Pasangan Calon Peserta Pemilihan mana yang memperoleh suara rakyat terbanyak, yang dihitung secara berjenjang dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berjumlah 1.464 TPS yang berada di 13 Kelurahan dan 227 Desa, kemudian direkapitulasi di tingkat 14 Kecamatan, sampai terakhir direkapitulasi di KPU Musi Banyuasin. Tiga jenjang penghitungan dan rekapitulasi ini diatur oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dan Pembuat Undang-undang sebagai prosedur terbaik untuk memperoleh angka hasil Pemungutan Suara yang realistis.Pada setiap Rapat Pleno Terbuka di setiap jenjang, KPU Musi Banyuasin memenuhi regulasi untuk mengundang sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder), demi melaksanakan prosedur penghitungan maupun demi menyaksikan prosedur penghitungan. Mengundang para stakeholder ini sangat penting untuk memastikan transparansi dan kebenaran kinerja Penyelenggara di setiap jenjang. Rapat Pleno Terbuka di setiap jenjang juga menjadi arena diskusi bahkan menjadi perdebatan, karena KPU Musi Banyuasin memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder, kepada seluruh masyarakat, untuk menyikapi proses yang dikerjakan oleh Penyelenggara supaya tidak ada satu pihak pun yang dirugikan secara konstitusional. Tahapan Penghitungan dan Rekapitulasi Suara ini berlangsung di jenjang TPS di seluruh Musi Banyuasin mulai pukul 13.00 WIB pada Hari-H Pemungutan Suara dan diselesaikan 26 jam kemudian secara simultan, sehingga KPU Musi Banyuasin dicatat oleh KPU RI sebagai Penyelenggara Scan Hasil Tercepat ke-8. Kinerja ini akan diuji melalui rangkaian proses Tahapan selanjutnya, yang dimulai pada saat sejumlah Saksi Paslon menyatakan tidak bersedia menandatangani Berita Acara Rekapitulasi di tingkat TPS, suatu kondisi yang memang dapat diterima, karena tercantum dalam regulasi Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2016.Maka Penyelenggara di TPS harus tetap mematuhi regulasi mengenai tata cara Penetapan Hasil Pemilihan di tingkat TPS. Harus dicari solusi yang paling konstitusional dan tidak merugikan pihak manapun. Para Penyelenggara saling berkomunikasi antar jenjang KPPS-PPS-PPK-KPU, saling mentelaah poin aturan yang harus diterapkan pada situasi tersebut, kemudian mengeksekusi tanpa keraguan. Spirit kinerja seperti inilah yang ditunjukkan secara konsisten oleh Penyelenggara, menunjukkan kualitas Penegak Demokrasi yang berwibawa dan tangguh.  Namun ujian masih menanti KPU Musi Banyuasin di Tahapan Rekapitulasi pada tanggal 23 Februari 2017 tersebut. Ternyata Ketua Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 hadir dalam Rapat Pleno Terbuka itu dan kemudian menyatakan tidak bersedia mengikuti Rapat hingga tuntas, karena tuntutannya tidak mampu dipenuhi oleh KPU Musi Banyuasin. Pada Rapat Pleno Terbuka itu, di hadapan seluruh peserta Rapat, Ketua Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 menyampaikan tuntutan supaya KPU Musi Banyuasin menghadirkan tiga orang pejabat Aparatur Sipil Negara dari Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, yang diduga melakukan tindakan politik praktis yang tidak netral dan tidak etis selama Tahapan Kampanye. Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 menuntut kepada KPU Musi Banyuasin untuk menghadirkan ketiga Aparatur Sipil Negara tersebut supaya dapat diadili secara terbuka pada saat itu juga di tengah Rapat Pleno tersebut. KPU Musi Banyuasin terpaksa menolak tuntutan tersebut, karena bukan tugas maupun fungsi KPU Musi Banyuasin untuk memenuhi tuntutan yang seperti demikian. Sehingga Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 menolak melanjutkan hadir dalam Rapat Pleno Terbuka, kemudian keluar (walk-out) dari ruangan Rapat Pleno Terbuka tersebut.Postur penolakan oleh Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 ini telah ditunjukkan secara bertahap di tingkat Saksi Paslon TPS, di tingkat Rapat Pleno KPPS. Juga diterapkan pada Rapat Pleno Rekapitulasi tingkat Kecamatan di PPK. Sehingga kemudian puncaknya disaksikan pada Rapat Pleno Terbuka tingkat Kabupaten tersebut. Suatu postur yang menunjukkan pemahaman demokrasi dan kedewasaan berpolitik memang semakin matang di Kabupaten Musi Banyuasin. Analisis ini tidak mungkin muncul apabila yang ditunjukkan oleh Tim Pemenangan Paslon Nomor 2  adalah berupa emosi kemarahan atau emosi kesedihan semata. Yang ditunjukkan oleh Tim Pemenangan Paslon Nomor 2 justru sikap pelaku politik demokratis yang mengakui dan menjunjung hak konstitusi setiap orang, terutama hak konstitusi para rival politiknya.Bahkan faktor angka penghitungan perolehan suara, juga faktor sebaran perolehan suara, serta faktor suara sah/tidak sah yang diperoleh Paslon Nomor 2 telah menunjukkan warna kedewasaan masyarakat pemilik suara di Musi Banyuasin. Hasil akhir Rekapitulasi sebesar 58.244 suara (21,49%), adalah angka yang jauh lebih besar daripada jumlah Pernyataan Dukungan bagi Paslon Perseorangan (BA.7-KWK Perseorangan) sebesar 40.983 dukungan yang ditetapkan KPU Musi Banyuasin pada tanggal 10 September 2016. Juga sebaran perolehan suara yang bahkan meliputi Kecamatan Lalan sebanyak 2.057 suara, walaupun Kecamatan Lalan tidak termasuk dalam data BA.7-KWK Perseorangan diatas.Realitas demokrasi ini harus dimaknai bahwa masyarakat Musi Banyuasin siap dan mampu melakukan kegiatan politik secara demokratis di setiap jenjang. Secara demokratis dan sehat emosi, tidak hanya karena iming-iming money politics, melainkan karena akal sehat dan hati nurani. Jelas sekali situasi ini tercipta karena para Pasangan Calon Peserta Pemilihan Nomor 1 dan Nomor 2, telah menunjukkan kualitas serta energi persaingan yang sama hebatnya. Bahkan sebagai Paslon Perseorangan, Paslon Nomor 2 berhasil meningkatkan kepercayaan publik bahwa hukum bisa ditegakkan di Bumi Serasan Sekate. Perjuangan dan dinamika hukum yang dihadirkan, secara memuaskan telah menambah perbendaharaan sejarah yang sangat penting bagi database hukum dan kesadaran hukum KPU Musi Banyuasin. Sekelumit kajian diatas adalah tentang proses yang mengawali Tahapan Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Musi Banyuasin Tahun 2017, mulai dari Rapat Pleno di jenjang TPS sampai menjadi produk hukum KPU Musi Banyuasin yang inkracht van gewijsde tentang Penetapan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Tahun 2017. Semoga para pembaca dan pelaku yang menjadi stakeholder dapat memberikan masukan kepada KPU Musi Banyuasin untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Musi Banyuasin khususnya. Demi jihad kita mengurangi dan berusaha menghapus perilaku money politics, black campaign, atau negative campaign, atau tindakan melanggar kesepakatan netralitas, hanya karena nafsu politik untuk memenangkan suara rakyat. Sehingga Tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Musi Banyuasin Tahun 2017 dapat menjadi contoh teladan betapa kehidupan demokrasi akan semakin sehat dan indah jika para pemain politik kunci yang terlibat mau menunjukkan sikap menyampaikan tentang kebenaran, saling mengingatkan dalam kesabaran dan saling menasihati dengan penuh kasih sayang (Watawa saubil haq watawa saubis sabr watawa saubil marhamah). Semoga Allah SWT memberikan pahala terbaik kepada kita semua. Wallahu’alam bisshawab.

REKAYASA SISTEM PEMILU

REKAYASA SISTEM PEMILU(Studi Politik Hukum Menyongsong Pemilu Serentak 2019)OlehYUSDARStaf KPU Bone - Sulawesi Selatan & Mahasiswa Semester 6 Program Doktor Hukum UNHASNegara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal tersebut telah dituangkan secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, dalam negara hukum, hukum memiliki “saudara kembar” yang sering disandingkan dalam percaturan tatanan kehidupan setiap negara, yakni “politik”. Akan tetapi, negara Indonesia bukanlah merupakan negara politik, melainkan negara hukum.Kajian empiris menguraikan bahwa politik selalu menyisakan harapan dan tumpukan obsesi. Politik membawa kita untuk melakukan sejumlah kebijakan, tetapi juga menciptakan kegagapan demi kegagapan. Politik  berjalan secara terus menerus, dan tidak seorang pun yang mampu menghalangi arahnya kemana melangkah. Dengan demikian, agar politik tidak mendekonstruksi nilai, maka mesti ”direm” dengan aturan hukum. Itulah fungsi hukum, untuk menciptakan keteraturan di saat kegagapan menghinggap dalam setiap episode perjalanan politik.Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum (governmental by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas, melainkan perlu pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut, untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dalam negara hukum tersebut, pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Karena itu, dalam negara hukum, hukum memainkan peranannya yang sangat penting dan berada diatas kekuasaan negara dan politik. Karena itu pula-lah kemudian muncul istilah “pemerintah dibawah hukum” (government under the law).Periode ketatanegaraan Indonesia membentangkan fakta normatif, bahwa era reformasi memberi harapan besar (big expectation) akan terjadinya pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, untuk dapat mengantarkan negara Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi yang dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat, yang sasaran akhirnya adalah tercapainya tujuan negara dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Secara harfiah atau etimologi bahwa istilah politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa belanda “recht politiek” yang di terjemahkan dalam bahasa indonesia berarti politik hukum. Walapun dalam istilah belanda terdapat istilah “rechts politiek” (politik hukum) dan “politiek rechts” (hukum politik). Menurut Van Der Tas berpendapat bahwa politik itu di artikan sebagai belied atau policy yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti kebijakan. Hal ini yang menjadi dasar dalam mengambil suatu tindakan. Kebijakan yang di artikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang dijadikan garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dalam bertindak. Sedangkan Hukum diartikan sebagai seperangkat norma atau kaidah yang mengatur tingkah laku manusia yang di dalamnya mengandung perintah dan larangan serta sanksi. Sedangkan, Mahfud MD. mengatakan bahwa produk hukum yang responsif/populistik merupakan produk hukum yang mencerminakan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan sebuah babak baru dalam perhelatan pemilu di Indonesia. Amanat untuk menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden pada waktu yang bersamaan merupakan sebuah momentum dalam upaya merekonstruksi sistem pemilihan umum.Rekonstruksi sistem pemilu setidaknya dilakukan dalam 5 (lima) unsur teknis utama dalam pemilu. Pertama adalah terkait dengan sistem pemilu yang digunakan. Kedua adalah alokasi kursi per daerah pemilihan (district magnitude). Ketiga adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Keempat adalah metode konversi suara ke kursi dan yang kelima  adalah waktu pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Kelima unsur itulah yang kemudian menjadi fokus dalam upaya rekayasa pemilu menuju multi partai sederhana dan sistem presidensiil yang efektif. Proses pemilihan umum rentan dengan penyimpangan, godaan dan memiliki potensi dibajak oleh individu-individu yang tidak bertanggungjawab. Pada saat bersamaan ada harapan yang besar dari masyarakat agar pemilihan umum terselenggara dengan penuh integritas. Para pemantau pemilu, baik domestik maupun internasional, menilai rangkaian penyelenggaraan pemilu di Indonesia demokratis dari segi bebas dan adilnya.Berbagai kasus yang berserakan sekarang ini merupakan cermin tidak dihargainya hukum secara konsisten dalam sebuah kerangka sistem. hukum cenderung difungsikan sesuai dengan selera masing-masing penggunanya. Kasus pemilihan umum dari setiap periode dengan sentuhan politiknya amat sangat membuktikan  bahwa hukum selalu dimain-mainkan sesuai seleranya. Hal tersebut telah mengubah dunia hukum menjadi “pasar politik” yang mengakibatkan penegak hukum maupun pembuat undang-undang berlagak sebagai penentu nasib subjek hukum yang justru menimbulkan kekisruhan sosial. Inilah risiko yang dihadapi hukum sebagai ilmu yang bersentuhan dengan banyak bidang dan terangkai dalam sebuah sistem  yang lepas dari pijakan dasar suatu negara. Hukum dianggap sebagai sesuatu yang “berdiri diruang hampa”. Dengan demikian, mengkonstruksi perspektif yang kondusif bagi pemahaman dan pemaknaan hukum sebagai norma yang memiliki momen sosial adalah hal signifikan. Perumusan sistem pemilihan umum sebagai instrumen untuk menciptakan sistem politik demokrasi. Pembuat undang-undang pemilihan umum cenderung merumuskan sistem pemilihan umum secara parsial alias hanya melihat unsur yang berdampak langsung pada perolehan kursi saja, yaitu formula pemilihan dan ambang batas perwakilan. Tidak semua pemilihan umum berlangsung secara demokratis bahkan Robert A. Dahl memberikan ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar suatu pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi, diantaranya: inclusiveness, equal vote, effective participation, enlightened understanding, final control of agenda.Douglas W. Rae mengemukakan bahwa sebuah sistem pemilihan umum akan berjalan dengan baik jika terbagi dalam 3 (tiga) fase di mana tiap fasenya merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Fase tersebut meliputi: Pertama, balloting atau pemungutan suara sebagai sebuah spesifikasi dari peran rakyat pemilih dalam memutuskan ikut pemilu atau tidak. Kedua, pembentukan daerah pemilihan (districting) sebagai faktor yang membatasi dalam menerjemahkan suara menjadi kursi; dan Ketiga, formula pemilihan (electoral formula) sebagai faktor penentu dalam menerjemahkan suara menjadi kursi. Penulis berpandangan bahwa Pe-Rekayasa-an sistem pemilu hanya dapat dilakukan pada sistem pemilu legislatif. Sistem pemilu presiden dan wakil presiden tidak dapat ditawar lagi karena sudah tercantum secara eksplisit di dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, sistem pemilu presiden dan wakil presiden merupakan sebuah taken for granted kecuali jika ada kemauan politik untuk mengamandemen ke-5 UUD NRI tahun 1945. Sistem pemilu legislatif lebih bersifat opened legal policy. Pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem pemilu legislatif yang akan digunakan. Jika merujuk pada keluarga sistem pemilu, maka setidaknya ada 2 (dua) pilihan besar sistem pemilu, yaitu sistem proporsional atau sistem distrik. Pemilihan sistem pemilu menyongsong pemilihan umum serentak Tahun 2019 harus didasarkan pada studi empiris dari pemiu ke pemilu. Problem selanjutnya adalah penentuan varian sistem proporsional yang akan digunakan. Dalam penentuan varian tersebut, tentu saja harus dikaitkan dengan pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden karena penyelenggaraannya bersamaan. Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden secara bersamaan pada tahun 2019 tentu akan memberikan struktur insentif bagi pemilih maupun penyelenggara pemilihan umum. Penentuan sistem pemilihan umum harus didasarkan pada kerangka hukum yang jelas bukan menentukan sistem pemilihan umum hanya berdasar pada “nafsu” politik belaka agar Indonesia memiliki identitas sistem pemilihan umum dan memiliki validitas dan keberlakuan norma hukum serta dapat mewujudkan demokrasi yang substansif. 

Populer

Belum ada data.