Opini

Ingat 2019, Ingat Pemilu

Oleh : Ahmad Hadziq(Komisioner KPU Kabupaten Tanjung Jabung Barat)Memasuki awal tahun 2019 yang sering disebut sebagai tahun politik sudah semestinya semakin mengingatkan bahwa pelaksanaan pemilu 17 April 2019 sudah di depan mata. Kesadaran ini perlu dibangun kepada seluruh pihak karena tentunya banyak situasi, keadaan dan informasi yang harus dipersiapkan dan dipahami secara menyeluruh. Persiapan pelaksanaan oleh KPU, pengawasan tahapan oleh Bawaslu, aturan main yang dibolehkan dan dilarang kepada peserta pemilu dan apa yang menjadi hak serta kewajiban warga negara sebagai pemilih harus diingatkan kepada semua pihak. Karena itulah tidak salah jika KPU mengeluarkan tage line sosialisasi di awal tahun ini Ingat 2019, Ingat Pemilu. Siapa yang paling berkepentingan dengan pemilu? tentu bukan hanya penyelenggara dan peserta pemilu saja namun publik sebagai warga negara juga punya kewajiban untuk saling mengingatkan.Bagi penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu beserta jajarannya harus semakin gencar mengingatkan kepada publik tentang regulasi yang harus dilaksanakan dan harus dipenuhi oleh warga pemilih. Pertama, meyakinkan mereka sudah terdaftar sebagai pemilih dengan melihat pengumuman daftar pemilih yang sudah di tempel di setiap desa. Bagi kalangan pemilih muda yang sudah akrab dengan alat komunikasi gadget tentu akan semakin dipermudah dengan melakukan pengecekan langsung ke alamat www.lindungihakpilihmu.kpu.go.id atau dengan mendowload langsung aplikasi KPU RI PEMILU 2019, di sini akan ditemukan semua informasi terkait data pemilih dan info lainnya tentang pemilu. selain itu, penting juga mengingatkan langkah yang harus dilakukan warga yang ternyata tidak bisa melakukan hak pilihnya di tempat dimana mereka terdaftar karena alasan tertentu dengan melakukan proses pindah milih dan bahkan apa yang harus dilakukan jika ternyata memang ada warga masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih. Kedua, penting bagi penyelenggara untuk mengingatkan informasi tahapan yang sedang dilaksanakan. Seperti tahapan kampanye yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, calon DPD dan Partai Politik. Bawaslu di tiap tingkatan pun penting untuk menyampaikan terkait regulasi yang dibolehkan dan dilarang kepada masyarakat agar juga turut serta aktif memberikan informasi pelanggaran. Ketiga, masyarakat pemilih harus diingatkan bahwa pemilu 2019 pertama kali dilaksanakan serentak dengan pilpres, tentu ada penanganan dan perlakuan khusus karena berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.Bagi peserta pemilu pasangan calon presiden/wakil presiden, DPD dan partai politik, momentum kampanye selain sebagai ajang memperkenalkan diri dan penyampaian visi misi untuk meyakinkan pemilih harus pula bisa dimanfaatkan untuk menyadarkan dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat pemilih akan pentingnya berpartisipasi aktif dalam pemilu. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 267 (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 bahwa Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Dengan demikian informasi visi misi yang disampaikan kepada masyarakat juga mampu mencerahkan pemikiran masyarakat bahwa partisipasi pemilih bukan hanya soal turn out voter saja namun juga ada rasa tanggung jawab sebagai warga negara.Selanjutnya setiap warga negara perlu untuk di ingatkan dan saling mengingatkan pentingnya pemilu sebagai hak dan tanggung jawab sebagai warga negara. Robert F. Kennedy seorang mantan senator Amerika pernah mengatakan, Elections remind us not only of the rights but the responsibilities of citizenship in a democracy. Bahwa Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi. Ketika bicara tanggung jawab artinya tidak hanya soal datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih saja, namun ikut aktif dalam proses pelaksanaan dan pengawasan kebijakan pemerintahan terpilih pasca pemilu. Sebagaimana menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). kegiatan tersebut mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan  (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya dan sebagainya (Miriam Budiarjo: Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 2008).Partisipasi masyarakat dalam pemilu setidaknya dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu bentuk formal dan ekstra formal. Pertama, partisipasi pemilih dalam bentuk formal yang dijalankan melalui pemantauan dan pengawasan oleh organisasi-organisasi pemantau yang harus terakreditasi. Dalam pasal 435, 436 dan 437 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 diatur bahwa organisasi-organisasi pemantau harus terintegrasi dan memperoleh izin dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya. Selain itu, masyarakatpun dapat berpartisipasi dalam bentuk formal dengan menjadi penyelenggara adhoc terutama di tingkat Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Negara memanggil warganya terutama pemuda yang berusia paling rendah 17 tahun untuk menjadi petugas KPPS. Kedua, partisipasi politik dalam bentuk ekstra formal. Mereka adalah komunitas-komunitas yang memiliki kepedualian terhadap politik dan kepemiluan. Untuk bentuk ekstra formal ini, KPU akan membentuk relawan demokrasi yang akan membantu melaksanakan sosialisasi di berbagai segmen. Mereka yang nantinya diharapkan masuk ke semua segmen kelompok masyarakat untuk mengingatkan bahwa tahun 2019 akan ada pemilu serentak. Akhirnya, mari kita saling mengingatkan. 8 Januari 2019 adalah H- 100 pelaksanaan pemilu serentak 17 April 2019 dan pada tanggal 17 Januari 2019 akan digelar debat terbuka yang pertama bagi pasangan calon Presiden/Wakil Presiden. Mari kita sambut pemilu ini dengan riang gembira, aman dan damai. (*)

Budaya Organisasi di KPU Sumatera Selatan

PRATAMA (Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Musi Banyuasin)Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia secara organisasional melakukan perubahan rutinitas setiap ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum se-Indonesia. Perubahan rutinitas tersebut mulai menunjukkan manfaatnya dalam perubahan budaya organisasi satuan kerja KPU se-Sumatera Selatan khususnya. Perlahan dan pasti KPU RI mengubah kebiasaan kerja setiap sumber daya manusia di semua tingkatan, yang akan berguna untuk meningkatkan kompetensi penyelenggara dan kualitas penyelenggaraan Pemilihan. Saya memperhatikan ada tiga kebiasaan yang berhasil ditransformasi oleh KPU RI untuk Sumatera Selatan. Pertama adalah perbuatan indisipliner dalam menghadiri dan tidak berpartisipasi aktif dalam kegiatan. Karena sudah pernah terjadi bahwa beberapa ketua atau anggota KPU Kabupaten/Kota tidak menghadiri sesi pembukaan atau sesi presentasi atau sesi diskusi pada kegiatan tingkat provinsi, dengan cara menandatangani lembar konfirmasi kehadiran (absensi), lalu pergi meninggalkan lokasi kegiatan. Kejadian khusus tersebut memang tidak disiplin dan tidak profesional, yang telah nyata dilarang dalam tata kerja KPU. Sehingga KPU RI menerapkan proses pencocokan dan penelitian (coklit) kehadiran peserta pada setiap kegiatan. Komisioner KPU Provinsi yang menjadi pengampu divisi akan memanggil satu persatu anggota KPU Kabupaten/Kota. Jika ada ketua atau anggota KPU Kabupaten/Kota tertentu yang tidak hadir pada saat disebutkan namanya, maka diwajibkan untuk diberi surat peringatan yang ditembuskan kepada KPU RI. Kebiasaan baru ini meningkatkan kesadaran para ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota untuk lebih disiplin, lebih mawas diri dan membawa organisasi dari persepsi disiplin saat ini untuk menuju tingkatan profesionalitas yang lebih tinggi.Kedua adalah kebiasaan melakukan identifikasi dan penilaian resiko terpisah. Karena ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota biasanya mengerjakan tugas pokok dan fungsi terkait divisinya sendiri, hanya sekadarnya memahami regulasi yang mengatur divisi lain dan isu strategis terkait divisi lain. Kebiasaan ini membatasi kemampuan KPU Kabupaten/Kota untuk identifikasi dan penilaian resiko yang akan muncul dari tahapan Pemilihan. Sehingga akan mengurangi kualitas evaluasi tahapan yang sedang dilangsungkan dan menimbulkan keraguan mengeksekusi tahapan yang akan datang. Maka KPU RI melalui KPU Provinsi mengubah kebiasaan untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM), yang harus disusun secara terpadu oleh ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota. Identifikasi resiko menjadi lebih efektif, menjadi kebiasaan, yang dibahas ketua dan anggota secara kolektif kolegial, melampaui keterbatasan divisi. Pengampu Divisi Hukum dan Pengawasan akan melakukan check and recheck terhadap DIM, supaya semakin sesuai dengan kondisi yang diatur oleh regulasi. DIM tersebut akan menjadi bahan evaluasi maupun bahan perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi bahkan tingkat Nasional. Melampaui penyusunan DIM dari satu divisi semata, sebagai perubahan kebiasaan ketua dan anggota KPU, sehingga menghasilkan inventarisasi masalah yang lebih komprehensif dan menjadikan solusinya lebih tepat menyelesaikan suatu isu dan meyakinkan untuk bisa dilaksanakan di tingkat penyelenggara ad hoc.Ketiga, yang paling signifikan, adalah mengubah kedudukan Tim Seleksi Calon Anggota KPU Kabupaten/Kota yang pada periode lampau terdiri dari satu tim khusus untuk setiap Kabupaten/Kota yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota masing-masing. Kebijakan KPU RI terkait seleksi pada periode pra-Pemilu Serentak Tahun 2019, KPU RI mengatur supaya kedudukan satu Tim Seleksi untuk mengawasi pelaksanaan seleksi calon anggota pada lima sampai enam Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Penambahan jangkauan wewenang Tim Seleksi ini akan berhasil mengecilkan resiko intervensi dari Bupati/Walikota terhadap proses seleksi calon anggota KPU Kabupaten/Kota. Tim Seleksi secara mandiri dan independen melaksanakan seleksi yang akuntabel di wilayah netral. Peserta seleksi dipantau melalui berbagai aspek penilaian dan berbagai media sosial oleh masyarakat, sedangkan hasil seleksi secara berkala diumumkan oleh Tim Seleksi ke khalayak luas untuk diberikan tanggapan. Katabelece dan kongkalikong tidak bermanfaat dalam situasi ini, karena transparansi keadaannya. Maka menurut saya akan dihasilkan suatu generasi ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota yang berkompetensi tinggi dan berjiwa korsa.Salut atas dinamika perubahan kebiasaan dan perbaikan budaya yang sedang ditempuh oleh KPU RI beserta seluruh jajarannya, yang tersebar di 548 satuan kerja, dengan jumlah sumber daya manusia Aparatur Sipil Negara dan Komisioner berjumlah lebih dari 11 ribu orang*. Semoga akan terus menjadi bakti kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU RI mewujudkan visi “Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL”. Demikianlah suatu perspektif mengenai transformasi yang diwujudkan KPU untuk menciptakan Pemilih Berdaulat Negara Kuat, di Sumatera Selatan. KPU Melayani.*Data Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu (SIPP.KPU.GO.ID) Bulan November Tahun 2018.

Partisipasi Politik Perempuan

Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat. Semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada hakikatnya pembangunan memang dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Masyarakat sebagai pelaku pembangunan tidak lepas dari peranan perempuan yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi perempuan perlu diperhitungkan. Perempuan Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan. Partisipasi dalam bidang politik ini tidak sekadar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif.Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi perempuan yang lebih besar maka dianggap menjadi lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi perempuan dapat ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi perempuan itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum perempuan yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan.Partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh perempuan dapat melalui beberapa jalur:Pertama, bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang menggerakanibu-ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.Kedua, perempuan yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai pilihannya, terutama dalam memperjuangkan kaum perempuan. Dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (DPRD/DPR) untuk dipilih oleh masyarakat pada saat pemilu.Ketiga, kaum perempuan yang memilih bekerja pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Mereka dituntut memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin.Keempat, kaum perempuan yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan  jujur dan adil demi tegaknya hukum.Dengan demikian, partisipasi yang dilakukan kaum perempuan sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan berusaha, agar benar-benar wanita keberadaannya dapat diperhitungkan. Kaum perempuan dapat berperan aktif demi suksesnya Pemilu 2019 yang akan memilih para pemimpin dan wakil rakyat. (kpu jepara mds/ed diR)

ANTARA DEMOKRASI DAN MEDSOS, KAWAN ATAU LAWAN ?

ANTARA DEMOKRASI DAN MEDSOS,KAWAN ATAU LAWAN ?Oleh : Ahmad Hadziq(Komisioner KPU Kab. Tanjung Jabung Barat)Fenomena perang medsos mulai mewarnai Pemilu serentak 2019 meskipun kampanye belum dimulai, terutama di daerah perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna medsos aktif. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan pengguna internet Indonesia yang mencapai angka 143,26 juta jiwa sebagaimana data hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jika di amati, seminggu terakhir pengguna medsos mulai ramai memperbincangkan tentang pertarungan politik jelang Pemilu serentak 2019. Terutama semakin terasa sejak KPU menetapkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif DPR dan DPRD bahkan saat hari terakhir pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden. Fenomena tersebut tentunya di satu sisi terasa positif jika dilihat dari respon masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap pemilu yang akan dilaksanakan. Namun sekaligus inipun bisa menjadi ancaman bagi demokrasi yang sehat manakala yang disuguhkan di medsos baik secara individu maupun kolektif semakin ekspresif dan reduksionis dalam berpikir dan semakin represif  dan sinis dalam bertindak. Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi juga terdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di sejumlah negara memanfaatkan media sosial untuk proses kampanye politik. Selain itu media ini dianggap mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya murah (“Aktor Politik Wajib Manfaatkan Media Sosial”, ugm.ac.id, 7 Juni 2013).  Studi di Amerika Serikat menunjukkan media sosial merupakan alat kampanye yang efektif. Sebelum era media sosial, politisi di Negeri Paman Sam sudah memanfaatkan internet untuk media berkampanye. (Chavez, 2012; Stietglitz & Dang Xuan, 2012). Di Ghana, dua kandidat presiden menggunakan SMS dan Twitter untuk mendulang suara. Ini merupakan kali pertama media sosial digunakan untuk berkampanye di negara tersebut. Di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan website untuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah berkuasa. Selain itu Lembaga Swadaya Masyarakat membentuk jaringan untuk memonitor pemungutan suara di 11 ribu bilik suara melalui SMS dan MMS. Hasilnya calon petahana (incumbent) Robert Mugabe kalah, tetapi intervensi Mugabe membuat Pemilu diulang dan dia menang (Riaz, 2010).Media sosial sebagai bayi yang terlahir dari internet sejak awal telah tampil menjadi alat dan penentu seseorang untuk benar dan salah dalam dunia nyata maupun dunia maya. Benar dan salah memang abu-abu dalam media sosial, namun faktanya publik pun tidak diajak berpikir jernih dalam menyikapi permasalahan tersebut sehingga hanyut dalam pola diskusi yang tidak selesai. Pola dialektis tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warganet tidak berupaya mencari solusi atas suatu masalah, namun berupaya mencari vibrasi atas permasalahan tersebut. Vibrasi itu pula yang pada akhirnya menjadikan solusi hanya terjadi dalam ruang monolog miskin dialog. Pada akhirnya yang menjadi masalah adalah baik melalui media sosial maupun juga ruang sosial, sosialisasi publik terhadap masalah itu hanya sekadar permisif. Munculnya identitas secara jelas memang memegang kunci tanpa ideologi dalam media sosial. Dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi dan pemilu bisa jadi vibrasi terhadap permasalahan di media sosial sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok elit tertentu di kalangan pengguna media sosial di sisi lain ada pula kelompok warganet yang terjebak dalam informasi yang di buat seolah-olah fakta. Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi dikarenakan pengguna media sosial tidak memiliki batas usia dan tingkat pendidikan yang beragam. Sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, internet menjadi berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh” demokrasi. Pertanyaan fundamental yang kemudian muncul adalah internet akan menjadi kawan atau lawan demokrasi? Ada tiga aliran menanggapi pertanyaan itu yaitu pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran pertama tak yakin internet bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul internet akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem: mendorong sisi demokratis internet, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003)Ketiga aliran tersebut terjadi karena memang internet memiliki sembilan karakteristik khusus. Bagi yang pesimistik internet bisa menjadi teman setia demokrasi karena internet memang memiliki kekuatan yang tidak terbendung serta meminimalisasi kontrol negara atas warganya. Sedangkan bagi kelompok yang optimis justru melihat bahwa internet mampu menembus batas fisik, memperluas akses edukasi politik sehingga mampu memaksa pemerintah untuk lebih demokrastis. Namun yang lebih bijak tentunya kelompok yang menilai tidak hanya pada satu sisi, namun di balik pengakuan bahwa internet mampu mendorong sisi demokratis tapi juga harus di akui bahwa perkembangan internet bisa menjadi ancaman karena sifatnya yang cenderung nirkontrol dan lintas batas.Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan. Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi manfaat lainnya (Simon: 2003). Pentingnya internet sebagai alat dalam kemajuan demokrasi kita juga disadari oleh penyelenggara pemilu. Undang-undang pemilu memberi ruang bagi internet dan media sosial dalam pelaksanaan pemilu di negara kita. Sebagaimana yang tergambar dalam UU Pemilu No. 7/2017 pasal 275 salah satu metode kampanye yang bisa dilakukan melalui media sosial dan iklan di internet. Hal serupa juga di atur dalam Peraturan KPU No. 23 pasal 23 ayat (1) huruf e. Bahkan lebih spesifik lagi pada pasal 35 mengatur tentang materi dan desain yang minimal harus memuat visi, misi serta program sampai pada akun yang harus didaftarkan sebanyak-banyaknya 10 akun di setiap jenis aplikasi. Dalam pasal 24 PKPU tersebut, penggunaan media sosial sebagai metode kampanye baru boleh dilakukan setelah 3 hari penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD prov dan DPRD dan setelah ditetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dimulainya masa tenang. Jika berdasarkan PKPU No. 5/2018 tentang jadwal dan tahapan menerangkan jadwal penetapan Daftar Calon Tetap pada tanggal 20 September 2018, maka kampanye melalui media sosial baru bisa dilakukan mulai tanggal 23 september 2018 hingga 13 April 2019.Kampanye Pemilu yang selanjutnya disebut Kampanye merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Media Sosial disediakan sebagai alat untuk saluran komunikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk interaksi dan berbagi konten berbasis komunitas. Aturan tersebut tentunya sebagai upaya untuk menjadikan internet dan media sosial sebagai teman setia dalam mewujudkan edukasi politik dan kemajuan demokrasi. Namun jika tidak di barengi dengan pengawasan dan kesadaran oleh semua pihak, internet dan media sosial justru menjadi lawan demokrasi kita karena sangat memungkinkan berkembang diluar tatanan dan aturan yang ada. Karenanya perlu duduk bersama antara penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bersama peserta pemilu dan admin-admin media sosial untuk membuat komitmen bersama mengawasi penyebaran akun-akun yang memanfaatkan media sosial untuk merusak demokrasi yang kita inginkan.

Mengawal Sidalih

Oleh: Asep Sabar PEKAN ini tahapan Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPS-HP) Pemilu 2019 akan segera ditetapkan. Setelah DPS-HP, maka KPU Kota Kotamobagu akan mengesahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 pada 15-21 Agustus 2018 mendatang. Sebagaimana sudah ditetapkan pada 17 Juni 2018 lalu, Jumlah DPS Kota Kotamobagu sebanyak 87.547 pemilih, dengan rincian 44.060 pemilih laki-laki dan 43.487 pemilih perempuan. Angka tersebut naik dari DPT Pilkada 2018 sebanyak 85.800 pemilih. Nah, di Pemilu 2019 mendatang diprediksi jumlah pemilih masih akan meningkat, mengingat jumlah pemilih tambahan pada Pilkada 2018 tidak sedikit. Demikian halnya jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dari 242 pada Pilkada 2018 ketambahan sebanyak 82 TPS menjadi 324 TPS. Ini dimaklumi, karena memang jumlah pemilih di TPS antara Pilkada dengan Pemilu beda batasannya. Di Pilkada harus 500 pemilih, sementara di Pemilu hanya sampai 300 pemilih. Namun yang terpenting dari semua itu adalah digunakannya Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih) dalam mengelola data pemilih pemilihan umum. Tercatat hingga kini Sidalih belum genap 10 tahun. Usia yang terbilang masih rentan dengan berbagai kekeliruan serta kesalahan. Dan itu wajar, apalagi dijaman serba teknologi canggih disertai dengan berbagai penyimpangannya. Meski demikian, berbagai upaya serta terobosan terus dilakukan para pengelola Sidalih KPU RI yang di-backup KPU Daerah di semua jenjang dalam rangka memberikan kualitas data pemilih agar lebih valid, akurat serta berkualitas. Kelak, bila Sidalih sudah stabil dan “beranjak dewasa”, dipastikan akan lebih memudahkan para penyelenggara serta masyarakat untuk mengetahui keberadaanya di daftar pemilih. Jujur saja, penggunaan aplikasi ini jauh lebih memudahkan dibanding dengan sistem manual yang selama ini diterapkan. Beban kerja pemutakhiran data pemilih melalui Sidalih jadi lebih ringan dan bisa dikerjakan dimana saja serta kapan saja. Namun semua “mimpi” itu belum bisa terwujud secara sempurna, masih butuh banyak kesempatan dalam rangka perbaikan di sana-sini. Karena itu yang perlu diperhatikan mulai sekarang adalah mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM), terutama untuk operator tingkat desa/kelurahan serta kecamatan. Setelah itu sarana/pra sarana seperti jaringan internet. Kebijakan KPU RI terkait pemutakhiran data pemilih berkelanjutan adalah sarana tepat untuk terus memperbaiki perangkat keras dan perangkat lunak termasuk server yang digunakan Sidalih, beserta operatornya. Saat peluncuran Sidalih 2013 lalu, KPU RI pernah mensosialisasikan manfaat dan kegunaan Sidalih, yakni; Pertama, berfungsi sebagai bahan sosialisasi. Data pemilih bisa diakses melalui internet. Kedua, perekamanan data. Seluruh data pemilih yang ada direkam. Ketiga, mendeteksi data ganda. Jadi, data yang dimiliki betul-betul sesuai dengan data lapangan. Ini menjadi satu-satunya dalam sejarah di Indonesia, dimana kita bisa mengekspose data pemilih yang terintegrasi di tingkat pusat.[1] Kronologis penyusunan data pemilih sendiri diawali dengan proses singkronisasi Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK). Dari DAK menjadi Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Nah, DP4 inilah yang menjadi rujukan daftar pemilihan terakhir untuk dicoklit. Hasil dari pencocokan penelitian (coklit) lahirlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga seterusnya sampai pada DPT. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus memperbaiki daftar pemilih, kuncinya tergantung kepada pemilih sendiri. Mirip data kependudukan, dalam Sidalih ada banyak fitur yang digunakan mulai dari nomor induk kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga (NKK), tanggal lahir, TPS dan lainnya. Sidalih bahkan bisa langsung menyortir data pemilih yang tidak memenuhi syarat (TMS) seperti; pemilih yang meninggal, ganda, tidak dikenal, TNI/Polri, belum cukup umur. Bahkan Sidalih juga bisa digunakan untuk mengubah data pemilih yang salah nama, NIK, NKK, tanggal lahir dan lainnya. Meski demikian, sebagaimana sudah diungkapkan di awal, bukan tidak mungkin dalam perjalanannya Sidalih tidak menemukan masalah. Yang pernah terjadi di awal-awal penggunaannya yakni saat Pemilu 2014, adalah jebolnya akses masuk ke IT KPU, termasuk ke Sidalih dan system lain yang dikelola KPU RI oleh orang-orang tidak bertanggungjawab.[2] Sejak kejadian tersebut KPU RI kemudian merubah strategi serta kebijakan dengan memberlakukan satu pintu bagi jalan masuk ke Sidalih, yakni operator. Hanya operatorlah yang bisa mengelola Sidalih. Sehingga saat Pilkada Serentak Tahun 2015 dan 2017, kelemahan tersebut sudah diminimalisir, meski belum 100 persen. Patut diakui, ibarat kata semakin banyak didera permasalahan maka akan semakin ketahuan berbagai kelemahan dan permasalahan yang terjadi, sehingga ke depan tidak akan ada satu celah pun yang bisa merusak instalasi, server serta jaringan Sidalih. Mengutip pendapat Viryan, Komisioner KPU RI, bahwa semakin detail data dan proses data teridentifikasi maka akan semakin memudahkan bekerja dalam mengolah data pemilih. Data dan proses data yang tidak detail dapat menjadi bom waktu atau masalah yang merugikan dikemudian hari. Bekerja detail juga menuntut kehati-hatian dalam mengolah data agar terhindar dari permasalahan yang berdampak pada menurunkan kualitas daftar pemilih. Di sinilah titik tolak urgensi permasalahan data.[3] PENGALAMAN KOTA KOTAMOBAGU Selain problematika sarana/prasarana maupun SDM, kepentingan politik eksternal juga turut mempengaruhi baik-buruknya penggunaan Sidalih. Masih ingat ketika Pemilu 2014, dimana KPU Kota Kotamobagu harus mengulang-ulang Pleno Penetapan DPT? Meski harus menguras tenaga dan pikiran, data-data yang sudah tersimpan di Sidalih tetap terjaga, aman dan tidak mengalami kejanggalan sama sekali. Kalaupun ada perubahan, itu setelah dilakukan perbaikan-perbaikan oleh operator KPU Kota Kotamobagu sebagai rekomendasi rapat pleno. Berikut pleno-pleno tersebut; Pertama, Pleno tanggal 13 September 2013 dengan berta acara bernomor: 44/BA/KPU-KK/IX/2013. Pada DPT ini jumlah pemilih mengalami kenaikan dari DPS-HP yang berjumlah 91.009 menjadi 91.690 pemilih. Kedua, Pleno tanggal 11 Oktober 2013. DPT Pileg kembali ditetapkan dengan berita acara Nomor: 46/BA/KPU-KK/X/2013. Dalam tabel nampak jumlah pemilih pun mengalami perubahan dari 91.690 menjadi 91.668 pemilih. Ketiga, Pleno tanggal 01 November 2013. Jumlah pemilih mengalami perbedaan, yakni dari 91.668 menjadi 91.141 pemilih. Pleno Penetapan kali ini tercatat sebagai rapat perdana KPU Kotamobagu Periode 2013-2018, termasuk penulis. Keempat, pada tanggal 28 November 2013 KPU RI kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait penyempurnaan DPT. Isinya KPU diminta kembali melakukan rapat pleno terbuka menetapkan DPT hasil penyempurnaan. Alhasil, dari data yang masuk dari operator Sidalih KPU Kota Kotamobagu, jumlah pemilih di Kotamobagu kembali berubah dari 91.141 menjadi 90.557 pemilih. Kelima, Pleno tanggal 18 Januari 2014. Disini Bawaslu merekomendasikan penyempurnaan DPT, terutama terkait dengan NIK invalid. Keputusan Rapat pleno tertuang dalam berita acara Nomor: 51/BA/KPU-KK/XI/2013. Jumlah pemilih lagi-lagi mengalami penyusutan dari 90.557 menjadi 90.453 pemilih. Keenam, Pleni tanggal 8 Februari 2014. Kali ini hanya fokus pada para pemilih di rumah tahanan (Rutan) Kotamobagu. Hasilnya sebanyak 205 penghuni Rutan, termasuk petugas dan sipir, yang berasal dari berbagai daerah di Bolaang Mongondow Raya masuk DPT Kotamobagu; (1). Kota Kotamobagu 25 orang, (2). Kabupaten Bolaang Mongondow 93 orang, (3). Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 30 orang, (4). Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 12 orang, (5). Kabupaten Bolaang Mongondow Utara 18 orang. Ketujuh, Pleno tanggal 18 Maret 2014, dimana KPU Kota Kotamobagu kembali menetapkan DPT hasil perbaikan. Di masa ini KPU bersama Panwaslu dan PPS se-Kota Kotamobagu berhasil mengidentifikasi beberapa temuan baru, yakni; 4 pemilih meninggal, 3 pemilih dinyatakan belum cukup umur, 466 fiktif atau tidak dikenal, 97 pindah domisili dan 10 pemilih ganda. Bersyukur setelah kejadian di Pemilu 2014 tersebut, pleno ulang-ulang kali tidak pernah terjadi lagi di pemilihan berikutnya; Pilkada 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018. Harapan tentunya di Pemilu 2019 yang saat ini masih dalam fase daftar pemilih sementara (DPS) pun demikian. Karena memang secara keseluruhan Sidalih sudah bisa dirasakan manfaatnya, efisien dan efektif. Kalaupun ada perubahan-perubahan itu semata karena persoalan data pemilih bersifat dinamis sebagaimana perkembangan dan dinamisnya penduduk; ada yang meninggal, ada yang pensiun, ada yang baru berumur 17 tahun, ada yang baru membuat KTP-el meski usianya sudah lebih dari 17 tahun, dan seterusnya. Tugas kita adalah meminimalisir kesalahan, kalaupun tidak bisa seratus persen menjadikan data pemilih yang ada di Sidalih akurat, valid dan berkualitas. (***) Penulis: Ketua Divisi Perencanaan dan Data KPU Kota Kotamobagu.

Populer

Belum ada data.