Berita Terkini

Tetap Bersikap Netral, KPU Akan Klarifikasi Semua Kepengurusan Partai

Jakarta, kpu.go.id- Dalam tahapan pencalonan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan lakukan klarifikasi atas semua data kepengurusan partai politik peserta pemilu. “Nanti sebelum tahap pencalonan, kami ingin mendapatkan data kepengurusan partai politik yang terdaftar secara resmi di Kemenkum HAM,” tutur Komisioner KPU RI, Hadar Nafis Gumay, Senin (2/3).Ia menambahkan, untuk memenuhi prinsip keadilan, klarifikasi kepengurusan partai politik tersebut berlaku untuk semua partai peserta pemilu, tidak hanya partai politik yang tengah mengalami permasalahan dualisme kepengurusan.“Tidak hanya partai politik yang katakanlah punya permasalahan, tapi seluruh partai politik. Jadi yang terdaftar yang mana dengan kepengurusannya yang mana, itu yang akan menjadi pegangan KPU dalam bekerja,” lanjutnya dihadapan perwakilan DPP Partai Golkar hasil Munas XIII, Pekanbaru, Riau Tahun 2009, Idrus Marham dan Rambe Kamarul Zaman yang siang tadi mengunjungi Kantor KPU RI, Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta.Atas pernyataan tersebut, perwakilan DPP Partai Golkar hasil Munas XIII Riau, Idrus Marham menyampaikan bahwa KPU melakukan langkah yang bijak jika akan melakukan klarifikasi terhadap semua kepengurusan  partai.“Kami menghormati sikap KPU yang akan melakukan klarifikasi atas semua kepengurusan partai politik. Saya kira itu bagus, jadi tidak saja kepada partai politik yang dianggap bermasalah tetapi keseluruhan, saya kira itu langkah yang sangat bijak, dan kami apresiasi itu,” ujar Idrus.Sebelumnya, Idrus menyampaikan surat Menteri Hukum dan HAM tanggal 5 Februari 2015 yang masih mengakui kepengurusan Partai Golkar hasil Munas XIII Riau Tahun 2009. Sehingga sampai dengan tahun 2015 kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau itu masih berhak menjalankan roda organisasi.“Sesuai surat Menteri Hukum dan HAM yang dikirimkan kepada kami pada 5 Februari 2015, kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas XIII, Riau Tahun 2009 masih terdaftar hingga 2015. Dengan demikian kami jelaskan kepada KPU yang melaksanakan roda organisasi adalah DPP Partai Golkar hasil Munas Riau. Sampai adanya putusan baru terkait dengan perselisihan kepengurusan Partai Golkar,” ujarnya.Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPU RI, Sigit Pamungkas berpendapat bahwa dualisme kepengurusan partai dapat menghambat proses pencalonan yang dilakukan oleh partai politik, karena dalam pencalonan, calon terpilih harus diajukan oleh kepengurusan yang sah.“Ini memang menjadi persoalan bagi partai kalau ada masalah seperti ini, karena untuk mencalonkan harus disetujui oleh orang yang tepat di dalam kepengurusan partai tersebut dan sekaligus periodenya masih berlaku. ini syarat yang penting dalam tahap pencalonan,” tuturnya.Mengenai dualisme kepengurusan partai Golkar tersebut, Idrus menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan mempengaruhi jalannya pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang rencananya akan berlangsung secara serentak.“Dalam persoalan ini, baik kalah atau menang Partai Golkar berkomitmen untuk mengakomodasi semua pihak, sebagai partai dewasa, kami yakin persoalan intern ini tidak akan mengganggu jalannya proses pilkada,” tutur Idrus. (ris/red. FOTO KPU/dosen/Hupmas)

Mengukur Peran Politik Ki Sunda dalam Pentas Kepemimpinan Nasional

Purwakarta, kpu.go.id- Jiwa kepemimpinan masyarakat Sunda kadang tersisih di kancah nasional, 15% atau 37 juta orang sunda dengan Aspek Demografis, Masyarakat Suku Sunda punya aspek yang besar dalam tantangan global dan menjaga identitas bangsa masuk dalam era keterbukaan demokrasi.Demikian diungkapkan oleh Komisioner KPU Pusat,Ferry Kurnia Rizkiansyah, dalam seminar bertema "Kepemimpinan Politik Ki Sunda” di Bale Swala Yudistira, Kantor Pemda Purwakarta, Rabu (25/02). Yang diselenggarakan oleh LPPM Universitas Purwakarta. Hadir pembicara lain Asep Samuh (Guru Besar Komunikasi UIN Bandung), H. Dadan Wildan (Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara), dan H.Oni Suwarman (Artis, Anggota DPD RI).Menurut Ferry, bagaimana Orang Sunda bertarung dalam tantangan globalisasi, dalam kancah nasional dan terlibat dalam kepemimpinan nasional, bagaimana tradisi aspek-aspek pola kepemimpinan dengan baik dan nilai-nilai kesundaan menjadi nilai universal serta menyosialisasikan nilai-nilai sunda dan masuk dalam multikulturalisme. “Kita juga tidak mau terkotak-kotakan jika dia Sunda dia tidak menyunda, bisa jadi dia bukan orang Sunda tapi dia bisa nyunda, kedepan bagaimana kita membangun masyarakat yang berpengetahuan dan bagaimana dalam era keterbukaan, era demokrasi dalam menghadapi tantangan tersebut,” ungkapnya.Selain itu Ferry mengatakan bagaimana nantinya kita melihat peta politik demokrasi untuk Pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada bulan Desember nanti, kita sebagai orang sunda harus mampu mengawal dan mengawasi proses rekrutmen di partai politik dan keterlibatan kita dalam proses pemilukada, karena subjek demokrasi adalah masyarakat, akademisi kampus, mahasiswa juga mampu membuat proses pendidikan pemilih bagi menciptakan pemilih yang cerdas. Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara, H. Dadan Wildan,M.Hum yang juga tokoh masyarakat Sunda mengungkapkan pengaruh kepemimpinan Ki Sunda dipengaruhi oleh ajaran agama (islam), kearifan lokal (adat), sistem demokrasi dan dinamika politik baru.“Potensi orang Sunda belum dimanfaatkan sepenuhnya. Potensi itu antara lain berupa fakta bahwa masyarakat Sunda sebagai etnis terbesar di Indonesia, keberagaman budaya, dan wilayah atau Tatar Sunda yang luas. Potensi orang Sunda sebenarnya sangat besar, buktinya dengan kemunculan kepemimpinan nasional Oto Iskandar Dinata. Oto berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia. Salah satunya mendorong Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan dan ada juga Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Sudah saatnya orang Sunda bangkit dan menjadikan kelemahan itu sebagai tantangan. Salah satunya dengan membangun kesadaran pribadi dan bersama memecahkan permasalahan yang ada,” katanya.“Orang sunda jangan menjadi penonton sejarah, namun harus menjadi pelaku sejarah,” ujar Ferry di depan para peserta Seminar yang dihadiri oleh mahasiswa dan tokoh masyarakat Purwakarta. (Tdy/red.FOTO KPU/Spt)

Knowledge Exchange KPU – AEC Membangun Desain Komunikasi Efektif dalam Pemilu

Jakarta, kpu.go.id – Desain mekanisme dan proses komunikasi efektif yang dibangun bersama menjadi penting dalam menyongsong penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Tahapan pemilu serentak tersebut akan dimulai pada tahun 2017, kemudian tahun 2018 akan masuk ke dalam tahapan yang lebih masif. Selanjutnya pada tahun 2020 atau 2021 juga akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Mekanisme komunikasi perlu didesain bersama untuk aktifitas pemilu ke depan. Komunikasi tidak hanya komunikasi verbal, non verbal, baik ke internal maupun ke publik, tetapi juga komunikasi dengan stakeholder Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu. KPU bisa bertukar informasi dengan Australian Electoral Commission (AEC) mengenai komunikasi efektif yang sudah dibangun di Australia. Komunikasi efektif itu menjadi penting dalam membangun kelembagaan penyelenggara pemilu yang berwibawa dan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik.Hal tersebut disampaikan Anggota KPU RI Ferry Kurnia Riskiyansyah dalam kegiatan Knowledge Exchange antara KPU dan AEC dalam mendesain komunikasi publik badan penyelenggara pemilu, di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (25/2).Kegiatan pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara penyelenggara pemilu di Indonesia dan Australia tersebut diikuti oleh 12 Anggota KPU Provinsi, yaitu Provinsi Riau, Banten, Papua, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan KIP Aceh, serta perwakilan dari Sekretariat Jenderal KPU RI dan Bawaslu RI.Sementara itu, Pieta Mamo Perwakilan dari AEC yang memegang peran dalam komunikasi publik di penyelenggaraan pemilu di Australia menjelaskan bagaimana komunikasi publik dibangun efektif di Australia. AEC memanfaatkan teknologi intranet untuk berkomunikasi dengan internal staf AEC pada masa pemilu di Australia. Intranet itu merupakan jaringan internal yang dapat mendukung komunikasi antar staf dan dapat menyimpan apapun yang ada dalam organisasi. “AEC juga mengelola pendaftaran pemilu, pendidikan pemilih, menjembatani pemangku kepentingan dan masyarakat, dengan tetap menjaga independensi. Kami melaksanakan strategi komunikasi yang disebut di Indonesia dengan istilah sosialisasi, selain itu kami melakukan penelitian, komunikasi website, grafis, dan fotografi. Kami melakukan komunikasi berbasis bukti, jd sesuai kebutuhan, apabila anggaran kecil, kami harus kreatif dengan meminimalisir penggunaan anggaran,” ujar Pieta yang juga menjadi accrediting fasilitator BRIDGE tingkat internasional.Pieta juga menjelaskan bahwa AEC melibatkan staf dengan konsisten dalam komunikasi dan menggunakan pesan komunikasi yang sederhana. Komunikasi ini bukan hanya satu arah dari pusat ke daerah, tetapi ada umpan balik dari daerah ke pusat untuk usulan perbaikan. Sedikit perbedaan dengan Indonesia, Australia terdapat kantor pusat, kantor negara bagian, kantor daerah, dan ada beberapa kantor yang terpisah. Tugas kantor pusat mengawasi pemilu nasional, sedangkan kantor negara bagian mengawasi pemilu di negara bagian tersebut.Anggota KPU RI Arief Budiman yang juga hadir turut menjelaskan apa yang dilakukan KPU dalam hal komunikasi. Semua yang dilakukan KPU harus merujuk pada UU Pemilu dan UU penyelenggara pemilu. KPU juga berhubungan erat dengan dua stakeholder, yaitu peserta pemilu dan pemilih. Berbeda dengan Australia, di Indonesia terdapat 190 juta pemilih, namun dengan anggaran yang kecil, sedangkan di Australia anggaran besar dengan jumlah pemilih yang lebih sedikit.“Pemilu 2014 yang lalu, terdapat 46 partai politik (parpol) mendaftar, kemudian tersisa 33 yang lolos administratif, dilanjutkan verifikasi faktual, dan kemudian tersisa 12 parpol. Banyak parpol mulai tidak percaya dan ragu dengan KPU, komunikasi informasi KPU tidak dipercaya, karena harapan mereka bisa lolos, namun tidak tercapai dan mereka tidak menerima itu semua. Padahal, penting dalam komunikasi, semua informasi terpenuhi dan diterima dengan baik,” papar Arief Budiman. Sementara itu, Sri Budi Eko Wardani Direktur Eksekutif Puskapol UI dalam paparannya berusaha memposisikan diri sebagai publik dalam merefleksikan kinerja penyelenggara pemilu, karena respon publik ini bisa berdampak juga di kinerja internal KPU. Pemilu 2014 itu tahun politik, karena Presiden SBY sudah dipastikan tidak mencalonkan kembali, kemudian pemilu hanya diikuti 12 parpol, sehingga ada persaingan tinggi dalam pemilu. KPU juga harus bersaing dengan lembaga quick count yang mempublikasikan hasil pemilu secara luas. “Masyarakat menjadi bingung karena media mengumumkan quick count juga. Masing-masing calon membiayai lembaga quick count, sehingga ada perang opini ketika quick count diumumkan ke publik. Masyarakat bertanya-tanya, kemana masyarakat harus mencari tahu, sehingga itu menjadi tugas KPU mengkomunikasikan ke masyarakat. Untuk itu, KPU harus melakukan penguatan kelembagaan sebagai lembaga yang mandiri, profesional, dan akuntable,” papar pengamat politik yang biasa dipanggil Dani. (Arf/red.FOTO KPU/Tdy)

USAI DILANTIK, JALANI ORIENTASI

Jakarta kpu.go.id- Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay, memberikan materi pemahaman Demokrasi Pemilu dan Sistem Pemilu kepada para anggota KPU Provinsi yang baru dilantik, orientasi dilakukan dalam rangka penguatan kapasitas penyelenggara Pemilu pasca Pemilu Nasional dan untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak.(dosen/red.KPU FOTO/dosen)

KPU Rancang Pusat Pendidikan Pemilih

Jakarta, kpu.go.id- Kehadiran pemilih yang cerdas berdemokrasi menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan kualitas Pemilihan Umum (Pemilu). Untuk menunjang hal itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini mulai merancang Pusat Pendidikan Pemilih yang nantinya dapat menjadi rujukan masyarakat dalam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kepemiluan.Terkait dengan hal tersebut, KPU mengundang beberapa pakar untuk mendiskusikan dan mendapatkan masukan dalam membangun pusat pendidikan pemilih yang berbobot dan berkualitas, bertempat di Ruang Sidang Lt. 2 Gedung KPU, Jl. Imam Bonjol No. 29, Jakarta, Rabu (25/2).“Literasi ataupun referensi mengenai pusat pendidikan pemilih tidaklah terlalu banyak, maka kami mengundang para pakar sekalian dalam rangka merumuskan konsep pusat pendidikan pemilih itu seperti apa nantinya” ujar Komisioner KPU Sigit Pamungkas.Hadir sebagai pembicara pada diskusi tersebut R. Siliwati Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), M. Afiduddin Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Sri Budi Eko Wardhani Puskapol Fisip UI, dan Pieta Mamo perwakilan Australian Election Commision (AEC).Menurut Sigit, isu penting pada pendirian pusat pendidikan pemilih ialah menyangkut informasi apa saja yang ada didalamnya, kegiatan ataupun program yang akan berjalan, konsep managemen, serta sarana dan prasarana pendukung. “Kegiatan atau program apa saja untuk mengaktivasi pusat pendidikan pemilih sehingga ini akan hidup terus. Bukan hanya ketika pemilu, tapi juga pasca pemilu. Sehingga pusat pendidikan pemilih ini tidak akan kosong atau tidur dalam waktu lama,” katanya.Sri Budi Eko Wardhani pada paparannya mengusulkan sejumlah program dan kegiatan di dalam pusat pendidikan pemilih tersebut, sehingga kelak, dapat menempatkan pemilu yang berbasis kepada kepentingan pemilih. “Beberapa program dan kegiatan diantaranya ialah adanya pusat dokumentasi kepemiluan, modul, rekruitmen fasilitator, kerja sama dengan lembaga pendidikan serta melakukan pendidikan pemilih itu sendiri kepada masyarakat,“ katanya.Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas Siliwati mengungkapkan, keberhasilan pendidikan pemilih bukan hanya ditentukan oleh kuantitas atau nominal angka paritipasi masyarakat dalam pemilu, tetapi juga kualitas dari pemilih itu sendiri.“Penting untuk membangun pendidikan pemilih yang mempunyai standar dan dibuat berdasarkan kawasan atau region, sehingga dapat menjangkau penduduk kita yang mencapai 240 juta jiwa”, ungkapnyaSelain itu, Peita Mamo dari AEC menceritakan dan berbagi pengalaman tentang pengelolaan pendidikan pemilih yang ada di negara Australia yang memfokuskan kepada pemilih pemula. “Target pendidikan pemilih di negara kami lebih dikedepankan kepada pemilih pemula dan sekolah, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA),” pungkas Peita yang didampingi oleh interpreter. (ook/red.FOTO KPU/dosen)

Populer

Belum ada data.